Mengapa Gempa di Lombok Tidak Ditetapkan Sebagai Bencana Nasional?

By National Geographic Indonesia, Rabu, 15 Agustus 2018 | 17:52 WIB
Anggota tim penyelamat menaiki puing-puing bangunan masjid yang hancur setelah diterjang gempa di Lombok Utara, NTB, 9 Agustus 2018 (Adi Weda/EPA via The Conversation)

Nationalgeogrphic.co.id - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat jumlah korban meninggal akibat gempa bumi di Lombok mencapai 436 orang. Mayoritas dari mereka mengembuskan napas terakhir setelah tertimpa bangunan yang dirobohkan oleh gempa bumi berkekuatan 7 Skala Ritcher pada 5 Agustus lalu. Jumlah pengungsi mencapai 352 ribu orang yang tersebar di ribuan titik pengungsian.

Selain kerugian langsung seperti kerusakan fisik yang meliputi 67 ribu unit rumah, 600-an sekolah, berbagai fasilitas umum, dan jalan raya, belum terhitung kerugian tidak langsung akibat rusaknya sendi-sendi perekonomian termasuk pariwisata NTB dalam lima tahun ke depan.

Status bencana Lombok

Praktisi penanggulangan bencana di Indonesia terbelah dua dalam menyikapi gempa bumi di Lombok. Pihak pertama mengatakan diperlukan penetapan status bencana Lombok 2018 sebagai bencana nasional. Sedangkan pihak yang lain, termasuk pemerintah, mengatakan tidak perlu ditetapkan sebagai bencana nasional.

Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan “(Ditetapkan sebagai) bencana nasional itu jika korban banyak, daerahnya luas, dan aparat pemerintah daerah juga lumpuh total. Pemerintah daerah juga menjadi korban dan lumpuh total sehingga fungsi-fungsi kepemerintahan tidak berjalan”. Sutopo kemudian mengoreksi bahwa wewenang deklarasi dan penetapan bencana nasional ada di tangan presiden.

Yang menarik adalah syarat terkait masih berfungsinya pemerintah daerah merupakan syarat yang tidak tertulis dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana melainkan syarat itu sebuah wacana baru di Tanah Air. Namun gagasan ini merupakan hal yang lumrah dalam bahan ajar di The Harvard Kennedy School Program on Crisis Leadership (PCL) yang menjadi dasar pemikiran deklarasi bencana dalam konteks Amerika Serikat.

Pertanyaan yang penting adalah apakah status bencana Lombok yang paling memberi dampak bagi operasi penanggulangan kedaruratan hingga tiga bulan ke depan? Dan bagaimana kebutuhan rekonstruksi rumah, sekolah, dan gedung-gedung serta bisnis dan ekonomi secara makro di NTB dalam tiga tahun ke depan?

Tantangan penanganan bencana di Lombok bukan hanya soal kebutuhan respons darurat dan bagaimana para penyintas bisa memiliki hunian layak sementara sebelum memasuki musim hujan 2018 yang diperkirakan mulai November. Total kebutuhan rekonstruksi yang masih diestimasi sangat mungkin lebih besar dari estimasi kerugian BNPB yang berkisar Rp 5,04 triliun. Bandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) NTB 2018 yang Rp5,2 triliun.

Aturan penetapan status bencana

Wewenang penetapan status bencana ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa “Penentuan status keadaan darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan tingkatan bencana.” Untuk tingkat nasional ditetapkan oleh presiden, tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat kabupaten/kota oleh bupati/wali kota.

Menurut Undang-Undang Penanganan Bencana, standar penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana dengan jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi adan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana. Dalam hal ini bisa BNPB ataupun Badan yang ditunjuk oleh presiden.

Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah didasarkan pada lima variabel utama yakni:

  1. jumlah korban;
  2. kerugian harta benda;
  3. kerusakan prasarana dan sarana;
  4. cakupan luas wilayah yang terkena bencana;
  5. Dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Namun variabel di atas tidak cukup operasional untuk memandu para pengambil keputusan dalam menentukan status bencana nasional. Undang-Undang Penanganan Bencana menyadari kelemahan ini dengan mengatakan ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana perlu diatur dengan peraturan presiden yang hingga kini belum diterbitkan.

Tradisi penetapan status bencana

Pola status bencana atau darurat skala nasional di berbagai negara di dunia berbeda-beda. Dari sisi penetapan, dilakukan secara ex-ante (ditetapkan sebelum ada korban) dan ex-post (ditetapkan setelah terjadi bencana).