Peta Tahun 1491 yang Memengaruhi Perjalanan Christopher Columbus

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 20 Agustus 2018 | 18:24 WIB
Peta 1491. (Lazarus Project)

Nationalgeographic.co.id - Peta 1491 yang mungkin memengaruhi konsepsi Christoper Columbus tentang geografi dunia, mendapat kesempatan baru untuk hidup. Saat ini, berkat teknologi mutakhir, para peneliti berhasil mengungkap detailnya yang dahulu pudar dan tersembunyi.

Chet Van Duzer, dari The Lazarus Project di University of Rochester, mengatakan, cara itu bisa dilakukan setelah beralih ke pencitraan multispektral, alat digital canggih yang dapat memulihkan teks dan gambar pada dokumen yang rusak.

“Sebelumnya, hampir semua tulisan di peta telah memudar. Membuatnya  menjadi objek yang sulit dipelajari,” kata Van Duzer.

Baca juga: Gumpalan Keju Berusia 3000 Tahun Ditemukan di Makam Mesir Kuno

Peta yang menginspirasi

Peta tersebut – yang dibuat oleh kartografer asal Jerman, Henricus Martellus di Florence, Italia – menunjukkan gambar dunia yang diketahui orang-orang Barat pada 1491, tepat sebelum Columbus melakukan pelayarannya.

Pada peta berukuran 1,2x2 meter itu, Afrika (meskipun sangat miring) berada di sebelah kiri, di atasnya adalah Eropa, dengan Asia di sebelah timur, dan Jepang terletak di sudut kanannya.

Tentu saja, peta tidak menunjukkan Amerika Utara dan Selatan, yang kala itu masih belum diketahui keberadaannya oleh orang-orang Barat.

Menurut Van Duzer, Columbus kemungkinan melihat peta Martellus (atau versi lain dari itu) tanpa sengaja.

Dalam sebuah biografi, Ferdinand Columbus menulis bahwa ayahnya berpikir Jepang berpindah dari utara ke selatan, seperti yang tergambar pada peta 1941. Dan kreasi Martellus ini adalah satu-satunya peta Jepang yang menunjukkan orientasi ini. Peta tersebut kemudian memengaruhi gagasan Columbus tentang geografi Asia.

Kemajuan teknologi

Peta 1491 ini sangat tua dan memiliki tampilan yang agak suram. Ia dilaporkan pernah menjadi milik keluarga di Tuscany, Italia, beberapa tahun sebelum muncul di Bern, Swiss, pada 1950-an. Kemudian, peta tersebut dijual dan secara anonim disumbangkan ke Yale University pada 1962.

Sejak 1960-an, teks dan gambar di peta sudah memudar. Kala itu, para peneliti di Yale University mencoba menguraikan teksnya dengan mengambil foto ultraviolet. Van Duzer mengatakan, meski berhasil mengungkap beberapa teks yang sebelumnya tidak diketahui, namun ia tidak benar-benar membuat semuanya terlihat.

Merasa penasaran, Van Duzer yang mendapatkan hibah dana dari National Endowment for the Humanities, menghabiskan waktu sepuluh hari untuk memotret peta tersebut.

Baca juga: Potongan Kapal Dari Perang Dunia II Ditemukan di Lepas Pantai Alaska

Bersama dengan timnya, ia menggunakan beberapa gelombang berbeda untuk memotret peta, mulai dari ultraviolet ke inframerah. Ini dilakukan karena Martellus membuat petanya menggunakan pigmen berbeda sehingga teks di sana dapat merespons beberapa cahaya.

Roger Easton, profesor dari Chester F. Carlson for Imaging Science di Rochester Institute of Technology, menyaring beberapa gambar, serta mencatat aspek mana yang paling baik merespons panjang gelombang. Selanjutnya, ia membuat gambar gabungan digital yang akhirnya mengungkap elemen yang tidak terbaca di peta Martellus.

Keseluruhan prosesnya memerlukan waktu berbulan-bulan. “Ketika melihat salinan peta yang berhasil disempurnakan dengan teknologi digital, rasanya sangat memuaskan,” kata Van Duzer.