Cape Town merupakan jantung negara wine, Afrika Selatan. Mengekspor 113 juta galon wine ke Eropa dan Amerika Serikat pada 2016. Ekspor ini mewakili jumlah air yang besar yang digunakan untuk menanam dan memproses buah anggur. Air tersebut tak lagi bisa dikonsumsi manusia.
Menurut Hoekstra, pencipta konsep penelusuran jejak kaki air (water footprint), dibutuhkan sekitar 26 hingga 53 galon air untuk menumbuhkan anggur dan mengolahnya menjadi 125 ml wine.
Dengan kata lain, jumlah air yang dibutuhkan untuk menumbuhkan atau membuat sesuatu – lemon, telepon genggam, hingga wine – merupakan produk dari water footprint.
Kebanyakan air untuk membuat segelas wine hilang karena evaporasi, dengan sedikit jumlah yang tersisa pada anggur. Sisanya, tidak bisa gunakan lagi. Air yang menguap akhirnya menjadi hujan. Namun, jatuhnya tidak ke kebun anggur yang sama atau ke provinsi Western Cape. Artinya, air yang sudah digunakan benar-benar hilang dari wilayah tersebut.
Tidak hanya untuk menumbuhkan sesuatu, tapi air juga dibutuhkan untuk memproduksi: mobil, furnitur, buku, elektronik, bangunan, perhiasan, mainan, dan alat elektronik. Air ini, yang pemakaiannya tidak terlihat, sering disebut dengan “air virtual”. Yang sering dilupakan adalah bahwa “air virtual” ini juga air yang kita minum sehari-hari.
Afrika Selatan, negara yang kekurangan ini, juga mengekspor minyak, mineral, dan logam yang membutuhkan banyak air. Sebagai contoh, mereka mengekspor 211 platina pada 2012. Itu menggunakan 45 milyar galon air untuk menambang dan memproses logam.
Negara lain dengan populasi padat, seperti Tiongkok dan India, juga menggunakan volume “air virtual” yang mengejutkan. Warganya sering mengalami kelangkaan air di rumah.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” kata Hoekstra.
Mencari solusi
Kita bisa mencari solusinya, kata Hoekstra. Dimulai dengan pentingnya strategi pengelolaan air: menumbuhkan dan memproduksi sesuatu di tempat yang tepat. Sebagai contoh, tanaman seperti beras dan kapas harus ditanam di daerah kaya air.
Pada ekonomi global, kekeringan bisa menjadi masalah besar, bahkan untuk negara kaya sekalipun.
Di kota pantai, Cape Town berharap bisa menyelesaikan masalahnya dengan mendapatkan sumber air yang baru: lautan. Caranya dengan membangun pabrik desalinasi pertama. Namun, cara ini sangat mahal dan perlu energi intensif.
Gleick mengatakan, akan lebih efektif dari segi biaya apabila beralih ke produksi tanaman yang tidak memerlukan banyak air serta mengolah kembali limbah. Saat ini, Cape Town hanya menggunakan lima persen dari limbahnya – sangat sedikit dibandingkan Israel yang 85%.
Baca juga: Seribu Gigi Dari Abad Ke-19 Ditemukan Di Stasiun Kereta Bawah Tanah
Israel tidak memiliki pertanian ‘haus air’ seperti kapas sehingga bisa memperbaiki kuantitas dan kualitas airnya untuk pemukiman.
California, yang baru-baru ini mengalami kekeringan selama empat tahun dan sempat memberlakukan pembatasan air, juga perlu mengalihkan produksi pertaniannya ke tanaman yang lebih sedikit menggunakan air, kata Gleick.
Negara bisa meningkatkan penggunaan air limbahnya menggunakan kelebihan air limbah untuk mengisi ulang akuifer dan menggunakannya untuk tanaman.