1996: Semenjak erupsi yang terjadi pada tahun 1994, aktivitas gunung Merapi terus terjadi hingga tahun 1995, dan mengalami peningkatan pada tahun 1996. Erupsi besar terjadi pada bulan September 1996 dan menciptakan awan abu setinggi 4 km di atas puncak. Aliran piroklastik terus terjadi hingga bulan November 1996.
1998-2001: Pada tahun 1998, sebagian besar kubah lava runtuh dan memicu aliran piroklastik sepanjang 7 km dari kawah. Setelah itu, meskipun sesekali terjadi erupsi kecil, aktivitas gunung Merapi mulai menurun hingga tahun 2000. Hingga pada pergantian tahun 2001, erupsi mengalami peningkatan tajam yang membuat aliran piroklastik menyembur sejauh 4 km dari sumbernya. Tingkat efusi lava diketahui berada pada level yang sangat tinggi.
2006: Setelah 5 tahun dalam kondisi tenang, erupsi kembali terjadi pada bulan April 2006. Semenjak 1998, kubah lava baru kembali terbentuk dan membuat aliran piroklastik menyembur dari 3 sisi, barat daya, selatas, dan tenggara.
Baca Juga: 6 Hal Mengejutkan Tentang Korea Utara yang Tidak Anda Ketahui
2010: Terjadi erupsi yang disebut-sebut sebagai puncak erupsi hingga dikatakan sebagai erupsi terdahsyat dalam 100 tahun. Material yang dimuntahkan bahkan mencapai 150 juta meter kubik dan menciptakan awan abu hingga radius 15 km. Erupsi tersebut setidaknya menewaskan sekitar 340 orang.
Mengapa Berbahaya?
Susan W. Kieffer, seorang ahli vulkanologis dan geologi mengatakan bahwa erupsi Gunung Merapi dapat jauh lebih berbahaya daripada erupsi yang terjadi di Hawaii. Magma dalam perut Gunung Merapi berisikan gas. Akibatnya, ketika magma tersebut menemukan saluran untuk mencapai permukaan, magma dapat membentuk kubah vulkanik. Kubah tersebut akan terus tumbuh hingga akhirnya runtuh karena terlalu berat.
Apabila hal tersebut terjadi, gas panas, abu, dan material kubah akan bercampur dan membentuk lumpur yang bukan hanya sangat panas, tetapi juga berbahaya.
Selain tumpahan materialnya, abu vulkanik yang diciptakan juga berbahaya. Bukan hanya pada kesehatan makhluk hidup, abu vulkanik juga mengancam dunia penerbangan. Dikutip dari Livescience pada Senin (27/8/2018), partikel abu yang membentuk awan akan meleleh ketika berhadapan pada suhu mesin pesawat. Partikel tersebut kemudian menempel pada baling-baling turbin dan terus menumpuk. Hingga pada akhirnya, tumpukan pertikel tersebut dapat membuat mesin pesawat berhenti sepenuhnya.
Baca Juga: Mampukah Asian Games 2018 Mendorong Perdamaian Dunia?
Berdampak pada Iklim
Ketika gunung berapi meletus, karbon dioksida yang keluar dari perut magma akan menyebabkan suhu bumi meningkat. Namun, di sisi lain, material seperti abu dan belerang justru memberikan efek sebaliknya. Material tersebut justru mendinginkan bumi karena mampu memantulkan sinar matahari.
Gas dan partikel debu yang dilemparkan ke atmosfer selama letusan gunung berapi akan mendinginkan planet dengan menghindari radiasi matahari yang datang. Efek pendinginan dapat berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tergantung pada karakteristik letusan. Partikel-partikel kecil ini sangat ringan sehingga mereka dapat tinggal di stratosfer dan menghalangi sinar matahari.
Selain gas dan partikel debu, seringkali letusan gunung berapi juga melontarkan sulfur dioksida ke atmosfer. Sulfur dioksida jauh lebih efektif daripada partikel abu saat mendinginkan iklim. Sulfur dioksida bergerak ke stratosfer dan bergabung dengan air untuk membentuk aerosol asam sulfat. Asam sulfat yang membentuk kabut di stratosfer akan memantulkan kembali radiasi matahari yang masuk dan menyebabkan pendinginan permukaan Bumi.