Fenomena Pertumbuhan Kubah Lava Merapi dan Dampak yang Ditimbulkan

By Mar'atus Syarifah, Senin, 27 Agustus 2018 | 11:55 WIB
Gunung Merapi (Aum_ng/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Pertumbuhan kubah lava Gunung Merapi tengah menjadi perhatian utama oleh berbagai pihak. Meskipun laju pertumbuhan tergolong rendah, tetapi bukan berarti bahwa aktivitas Gunung Merapi ini dapat disepelekan.

Kubah lava yang biasa disebut dengan kubah gunung berapi, adalah fitur umum yang biasa ditemukan di area gunung berapi di seluruh dunia. Kubah lava terbentuk oleh magma kental yang erupsi ke permukaan dan kemudian menumpuk di sekitar ventilasi.

Seperti aliran lava, mereka biasanya tidak memiliki cukup gas atau tekanan untuk meletus secara eksplosif, meskipun terkadang dapat didahului atau diikuti oleh aktivitas eksplosif. Namun, tidak seperti aliran lava, kubah sering menjadi tebal dan lengket mengalir sangat jauh.

Baca Juga: Kematian 323 Rusa Akibat Tersambar Petir Ubah Bentang Alam Norwegia

Riwayat Erupsi Gunung Merapi

Dalam sejarahnya, Gunung Merapi sudah puluhan kali menunjukkan aktivitasnya. Erupsi terdahsyat yang tercatat dalam sejarah terjadi pada tahun 1872, ketika gunung mengalami erupsi yang berlangsung selama 120 jam tanpa jeda.

Aktivitas Gunung Merapi dari tahun ke tahun tidak luput dari fenomena pertumbuhan kubah lava. Setelah kubah lava runtuh, magma akan kembali membentuk kubah lava baru hingga akhirnya runtuh kembali karena beban yang terlalu berat dan erupsi kembali terjadi. Berikut merupakan pencatatan aktivitas Gunung Merapi dari tahun 1967 yang dilansir dari laman Volcano Discovery.

1967-1968: Erupsi terjadi pada bulan April hingga Oktober. Kubah lava runtuh dan menghasilkan aliran piroklastik menuju sungai Batang. Hingga pada tahun 1968, erupsi kembali terjadi dengan sumber aliran lava yang berasal dari bekas runtuhan kubah yang sama.

1992-1993: Pada bulan Januari 1992, gunung Merapi kembali erupsi dan membentuk kubah lava baru. Kubah tersebut terbentuk di barat daya puncak. Meskipun rendah, tapi selama tahun 1992 pertumbuhan kubah lava terus mengalami peningkatan.

Aliran piroklastik juga terus terjadi meskipun dalam skala kecil. Hingga pada tahun 1993 aliran piroklastik terjadi dalam skala besar. Longsoran material mengalir hingga ke sungai Bedog dan Boyong dari sisi selatan gunung.

Baca Juga: Hentikan Kebiasaan Membakar Sampah Plastik! Ketahui Dampaknya

1994: Kubah lava yang terus tumbuh menghasilkan erupsi besar yang terjadi pada bulan November 1994 setelah beberapa erupsi kecil terjadi sejak bulan bulan Juli. Aliran piroklastik diketahui mengalir hingga 7,5 km dari puncak. Erupsi tersebut kemudian melanda desa Kaliurang dan menewaskan 41 orang.

1996: Semenjak erupsi yang terjadi pada tahun 1994, aktivitas gunung Merapi terus terjadi hingga tahun 1995, dan mengalami peningkatan pada tahun 1996. Erupsi besar terjadi pada bulan September 1996 dan menciptakan awan abu setinggi 4 km di atas puncak. Aliran piroklastik terus terjadi hingga bulan November 1996.

1998-2001: Pada tahun 1998, sebagian besar kubah lava runtuh dan memicu aliran piroklastik sepanjang 7 km dari kawah. Setelah itu, meskipun sesekali terjadi erupsi kecil, aktivitas gunung Merapi mulai menurun hingga tahun 2000. Hingga pada pergantian tahun 2001, erupsi mengalami peningkatan tajam yang membuat aliran piroklastik menyembur sejauh 4 km dari sumbernya. Tingkat efusi lava diketahui berada pada level yang sangat tinggi.

2006: Setelah 5 tahun dalam kondisi tenang, erupsi kembali terjadi pada bulan April 2006. Semenjak 1998, kubah lava baru kembali terbentuk dan membuat aliran piroklastik menyembur dari 3 sisi, barat daya, selatas, dan tenggara.

Baca Juga: 6 Hal Mengejutkan Tentang Korea Utara yang Tidak Anda Ketahui

2010: Terjadi erupsi yang disebut-sebut sebagai puncak erupsi hingga dikatakan sebagai erupsi terdahsyat dalam 100 tahun. Material yang dimuntahkan bahkan mencapai 150 juta meter kubik dan menciptakan awan abu hingga radius 15 km. Erupsi tersebut setidaknya menewaskan sekitar 340 orang.

Pertumbuhan kubah lava Merapi. (BPPTKG)

Mengapa Berbahaya?

Susan W. Kieffer, seorang ahli vulkanologis dan geologi mengatakan bahwa erupsi Gunung Merapi dapat jauh lebih berbahaya daripada erupsi yang terjadi di Hawaii. Magma dalam perut Gunung Merapi berisikan gas. Akibatnya, ketika magma tersebut menemukan saluran untuk mencapai permukaan, magma dapat membentuk kubah vulkanik. Kubah tersebut akan terus tumbuh hingga akhirnya runtuh karena terlalu berat.

Apabila hal tersebut terjadi, gas panas, abu, dan material kubah akan bercampur dan membentuk lumpur yang bukan hanya sangat panas, tetapi juga berbahaya.

Selain tumpahan materialnya, abu vulkanik yang diciptakan juga berbahaya. Bukan hanya pada kesehatan makhluk hidup, abu vulkanik juga mengancam dunia penerbangan. Dikutip dari Livescience pada Senin (27/8/2018), partikel abu yang membentuk awan akan meleleh ketika berhadapan pada suhu mesin pesawat. Partikel tersebut kemudian menempel pada baling-baling turbin dan terus menumpuk. Hingga pada akhirnya, tumpukan pertikel tersebut dapat membuat mesin pesawat berhenti sepenuhnya.

Baca Juga: Mampukah Asian Games 2018 Mendorong Perdamaian Dunia?

Berdampak pada Iklim

Ketika gunung berapi meletus, karbon dioksida yang keluar dari perut magma akan menyebabkan suhu bumi meningkat. Namun, di sisi lain, material seperti abu dan belerang justru memberikan efek sebaliknya. Material tersebut justru mendinginkan bumi karena mampu memantulkan sinar matahari.

Gas dan partikel debu yang dilemparkan ke atmosfer selama letusan gunung berapi akan mendinginkan planet dengan menghindari radiasi matahari yang datang. Efek pendinginan dapat berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tergantung pada karakteristik letusan. Partikel-partikel kecil ini sangat ringan sehingga mereka dapat tinggal di stratosfer dan menghalangi sinar matahari.

Selain gas dan partikel debu, seringkali letusan gunung berapi juga melontarkan sulfur dioksida ke atmosfer. Sulfur dioksida jauh lebih efektif daripada partikel abu saat mendinginkan iklim. Sulfur dioksida bergerak ke stratosfer dan bergabung dengan air untuk membentuk aerosol asam sulfat. Asam sulfat yang membentuk kabut di stratosfer akan memantulkan kembali radiasi matahari yang masuk dan menyebabkan pendinginan permukaan Bumi.