Nationalgeographic.co.id - Kegiatan membakar sampah masih dapat dengan mudah ditemukan di berbagai daerah permukiman di Indonesia. Alasannya sederhana, agar sampah tidak menumpuk. Memang benar bahwa tumpukan sampah akan berkurang setelah dibakar — berubah menjadi abu — tetapi cara ini memiliki bahaya tersendiri yang tersembunyi. Apalagi sampah tidak dipilha terlebih dulu.
Kesehatan dan lingkungan pun terancam oleh bahaya yang ditimbulkan dari pembakaran sampah ini.
Baca juga: 6 Hal Mengejutkan Tentang Korea Utara yang Tidak Anda Ketahui
Direktur Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, DR Emil Budianto, dalam sebuah seminar mengatakan bahwa sampah plastik yang menggunung menyimpan kandungan karbon dan hidrogen. Tidak hanya itu, zat tersebut akan terkumpul dengan zat lain seperti klorida yang ditemukan pada sisa makan. Ketika disulut oleh api, campuran zat berbahaya ini akan terlepas dan membahayakan manusia.
“Kalau sampah-sampah plastik beserta sisa makanan itu dibakar, akan memproduksi dioksin dan furan. Zat tersebut dalam konsentrasi kecil saja bisa menyebabkan kematian,” terang Emil lebih lanjut.
Emil juga menjelaskan, bila paparan zat dioksin dihirup oleh manusia dalam waktu singkat, maka akan menimbulkan reaksi batuk, sesak napas, dan pusing. Gejala ini merupakan bentuk respons tubuh ketika terpapar zat berbahaya.
Lebih berbahaya lagi bila paparan dioksin berlangsung dalam jangka panjang. Risiko kanker pun meningkat bagi manusia yang terpapar. Tidak hanya itu, pencemaran udara pun juga akan menyebabkan meningkatnya berbagai penyakit saluran pernapasan.
Selain mengancam kesehatan, emisi karbondioksida yang terlepas akan merusak dan menipiskan lapisan ozon.
Emil berkata bahwa sampah yang semula berbentuk padat akan berubah menjadi partikel zat yang dapat merusak lapisan ozon. Gas rumah kaca pun meningkat, sehingga pemanasan global semakin parah. Bila hal ini terjadi, suhu bumi akan semakin meningkat dan es di daerah kutub pun akan mengalami pencairan.
Pembakaran sampah ini memang ada cara aman yang dapat dipilih agar tidak menghasilkan dioksin, yakni dengan pembakaran stabil dengan pembakaran bersuhu 1.000 derajat celcius. Permasalahannya adalah, kondisi pembakaran tersebut hanya dapat dihasilkan dengan menggunakan mesin incinerator.
Baca juga: Kamera Drone Berhasil Ungkap Keberadaan Suku Terasing di Amazon
“Pembakaran tidak menghasilkan zat bahaya selama dilakukan pada suhu 1.000 derajat Celsius. Untuk rumah tangga, ini sulit tentunya,” ujar Emil. Oleh karena itu, kebiasaan membakar plastik sebaiknya dihentikan.
Emil menyarankan agar masyarakat mulai sadar untuk mengurangi pemakaian plastik. Setiap kali berbelanja, lebih baik membawa tas sendiri. Lalu, pembelian botol air minum kemasan sekali pakai ditekan, dan digantikan dengan membawa botol minum sendiri dari rumah.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR