Poret-potret Menakjubkan Dari Konservasi Satwa Liar di Afrika

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 29 Agustus 2018 | 16:06 WIB
Keindahan habitat satwa liar di Kenya. (David Chancellor)

Nationalgeopraphic.co.id – Di sepanjang Afrika, meningkatnya populasi penduduk dan kemiskinan telah menajamkan pertempuran antara manusia dan hewan yang tinggal di tanah yang sama.

Satwa-satwa semakin terhimpit habitat yang mengecil, rute migrasi mereka tertutup, dan persediaan airnya sering digunakan untuk irigasi tanaman. Selain itu, perburuan liar dan ilegal juga membuat jumlah mereka merosot tajam.

Di saat yang bersamaan, para petani sangat benci terhadap satwa liar. Mereka akan membunuh singa dan gajah yang masuk ke lahannya.

Seorang dokter hewan di taman konservasi Lewa, Kenya, mengobati singa betina yang mengalami infeksi mata. (David Chancellor)

Baca juga: Peneliti Temukan Metode Mengurangi Konflik Manusia dengan Harimau

Jika konservasi satwa liar berhasil, penting untuk menemukan cara bagaimana manusia dan hewan bisa hidup berdampingan secara berkelanjutan.

Perlu juga untuk memperhatikan komponen keuangan. Setiap pendapatan yang berasal dari alam liar harus dibagi dengan masyarakat yang tanamannya telah dihancurkan oleh gajah atau singa. Memberikan insentif jauh lebih efektif dibanding membiarkan mereka menjadi pemburu liar.

Penjaga hutan membawa macan tutul yang tewas akibat terkena perangkap pemburu. (David Chancellor)

Suku Samburu yang menjaga alam liar

Beberapa komunitas penduduk mengerti akan hal ini dan berusaha menjaga alam liar di sekitar mereka. Penduduk asli di Kenya utara bersama-sama melindungi masa depan berbagai jenis satwa liar sehingga memungkinkan mereka bermigrasi dengan aman.

David Chancellor, seorang fotografer, mencoba memotret kompleksitas hubungan manusia dan satwa liar di Afrika. Ada beberapa suku yang tinggal di Kenya, namun yang paling menarik perhatian Chancellor adalah Samburu.

Para prajurit dari suku Samburu. (David Chancellor)

Penduduk Afrika sering menyebut anggota suku Samburu sebagai “kupu-kupu”. Ini karena hiasan warna-warni di tubuh mereka.

“Saya selalu berpikir nama Samburu  lebih mengacu kepada cara mereka bermetamorfosis ke tahap baru kehidupan. Mereka berkembang dari anak-anak menjadi pejuang (moran), lalu tetua (mzee),” papar Chancellor.

Orang-orang Samburu mendapat julukan 'kupu-kupu' karena hiasan warna-warni di tubuh mereka. (David Chancellor)

Bagi orang-orang Samburu, kehidupan alam liar sangat suci. Mereka tidak dapat menikah tanpa kotoran gajah dan singa menjadi simbol kekuatan dalam budaya Samburu. Mereka yakin jika ada singa, maka kekeringan tidak akan terjadi.

Baca juga: Kematian 323 Rusa Akibat Tersambar Petir Ubah Bentang Alam Norwegia

Suku Samburu percaya bahwa mereka berasal dari tempat yang sama dengan satwa liar. Beberapa keluarga menjadi bagian dari gajah, sementara yang lainnya mengikuti keluarga singa.

Anggota keluarga singa tidak boleh memburu singa. Begitu pula keluarga gajah yang tidak bisa memburu hewan besar tersebut.

Para penjaga hutan memantau gajah yang baru pulih dari anak panah yang ditembakkan pemburu. (David Chancellor)

Bagaimana Sambura memperlakukan satwa liar memiliki arti penting bagi kita semua. Tanpa adanya dukungan dari orang-orang yang hidup di sekitar alam liar, harapan untuk melestarikan wilayah tersebut sangat kecil. Namun, dengan adanya orang-orang Samburu, ada ruang untuk konservasi dan mungkin transformasi secara global.