Dalam istilah yang lebih simpel, AI dapat melihat beberapa kemungkinan sekaligus. Kemudian mempertimbangkan faktor yang lebih kompleks, seperti yang dilakukan neuron di otak.
Ini sangat sempurna bagi gempa bumi, yang memiliki beberapa variabel untuk dipertimbangkan – mulai dari kekuatan getaran, posisi lempeng tektonik, dan jenis tanah yang terlibat. Pembelajaran mendalam dari AI akan menemukan pola-pola yang tidak bisa ditemukan manusia sebelumnya.
Untuk menggunakannya pada gempa susulan, Meade dan rekan-rekannya menyadap data interpretasi 131 ribu gempa bumi dan susulan, yang diambil dari 199 peristiwa.
Setelahnya, mereka membiarkan mesin kecerdasan buatan ‘mengunyah’ data tersebut, hingga ia mampu memprediksi 30 ribu aktivitas gempa susulan. Menunjukkan kemungkinan bahwa gempa susulan akan menyerang lokasi dalam jaringan lima kilometer.
Menurut peneliti, kunci utama yang perlu ditambahkan dalam algoritma AI adalah von mises kriteria – sebuah perhitungan yang dapat memprediksi kapan material akan pecah di bawah tekanan.
Baca juga: Peneliti: Teori Antivaksin Disebarkan Oleh Akun Bot di Media Sosial
Masih ada banyak hal yang harus dipelajari. Para ilmuwan mengatakan, model AI yang mereka kembangkan saat ini hanya dirancang untuk menangani satu jenis pemicu gempa susulan dan garis sesar sederhana. Oleh sebab itu, sistem ini belum bisa digunakan pada semua jenis gempa di seluruh dunia.
Lebih lanjut, kecerdasan buatan ini masih terlalu lambat untuk memprediksi gempa susulan yang bisa terjadi satu atau dua hari setelah gempa utama.
Namun, kabar baiknya, ‘jaringan saraf’ pada AI memang dirancang untuk membaik dari waktu ke waktu. Artinya, dengan semakin banyak data dan siklus pembelajaran, maka sistem ini dapat meningkat.
Studi dipublikasikan pada jurnal Nature.