Harus Menahan Sakit, Inilah Tradisi Kerik Gigi Bagi Wanita Mentawai

By Nesa Alicia, Selasa, 18 September 2018 | 15:45 WIB
Tidak hanya dikikir, gigi juga ditatah. (National Geographic)

Nationalgeographic.co.id - Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi yang ada di Indonesia kian meredup dan hilang begitu saja. Namun berbeda dengan Suku Mentawai yang berada di Kepulauan Mentawai, Pulau Siberut, Sumatera Barat. Mereka tetap mempertahankan tradisi yang telah ada sejak lama. Salah satunya adalah tradisi kerik gigi bagi wanita suku Mentawai. 

Tradisi turun temurun ini merupakan cara bagi wanita Mentawai untuk tampil cantik dan sebagai tanda kedewasaan wanita suku Mentawai.

Dalam melakukan tradisi ini, wanita Suku Mentawai harus menahan rasa sakit yang tidak sebentar. Gigi mereka akan dikerik atau diruncingkan dengan runcingan yang terbuat dari besi atau kayu yang sudah diasah hingga tajam. Tidak hanya satu gigi saja, melainkan semua (23) gigi mereka harus dikerik. 

Baca Juga : BMW Perkenalkan Motor yang Bisa Jalan Sendiri, Lebih Amankah?

Selama proses berlangsung, wanita suku Mentawai tidak dibius seperti yang dilakukan oleh dokter gigi bila akan melakukan pencabutan gigi.

Mengikir gigi. (National Geographic)

Tradisi ini sebenarnya memiliki makna untuk mengendalikan diri dari enam sifat buruk manusia yang sudah tertanam sejak dulu, atau yang dikenal dengan nama Sad Ripu. Enam sifat buruk ini adalah hawa nafsu (Kama), tamak (Lobha), marah (Krodha), mabuk (Mada), iri hati (Matsarya), dan bingung (Moha).

Baca Juga : Pengganti Kopi, 4 Minuman Ini Tidak Kalah Enak dan Menyehatkan

Penduduk suku Mentawai percaya bahwa wanita yang memiliki gigi runcing seperti hiu memiliki nilai lebih daripada yang tidak bergigi runcing. Hal ini kemudian membuat wanita Suku Mentawai melakukan tradisi tersebut meski harus menahan sakit yang luar biasa ketika proses peruncingan gigi.

Pilongi, salah seorang istri kepala desa Mentawai mengatakan bahwa proses ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara tubuh dan jiwa.

Saat remaja, ia sempat menghindari ritual ini, namun sekarang ia merasa bila ia harus meruncingkan giginya, mengingat status suaminya adalah seorang kepada desa.

"Saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Namun ketika mereka melakukannya, saya hanya  membiarkan mereka untuk meruncingkan gigi saya. Saya tidak khawatir bila terasa sakit," ungkapnya.