Peradaban yang Hidup dan Berkembang di Dalam Area Panas Bumi Kamojang

By Gregorius Bhisma Adinaya, Jumat, 28 September 2018 | 09:52 WIB
Wisata Kawah Hujam, Kamojang, Jawa Barat. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Pada tahun 1926, pemerintah kolonial Belanda melakukan pengeboran dangkal antara 60 – 128 meter di lapangan panas bumi Kawah Kamojang. Hingga dua tahun kemudian, lima sumur eksplorasi panas bumi pun tersedia di sana. Dari lima sumur itu, sumur KMJ-3 dengan kedalaman 66 meter sampai saat ini masih menyemburkan uap.

Peristiwa saat itu dipandang sebagai upaya pertama dalam pembuktian energi panas bumi di Hindia Belanda. Tidak sia-sia, panas bumi di Kamojang bahkan kemudian dikenal sebagai yang terbaik di dunia. Uap panas bumi yang kandungannya didominasi oleh uap, yang membuat bumi Kamojang unggul. Sayangnya pengusahaan panas bumi tidak berkembang sejak saat itu hingga tahun 1960-an.

Tidak berlangsung lama, keadaan ini berbalik ketika pemerintah Indonesia menggelar pengamatan panas bumi Kamojang pada tahun 1971 hingga 1979. Saat itu eksplorasi dilakukan bersama Selandia Baru.

Baca Juga : Suka Duka Para Perawat Elang di Pusat Konservasi Kamojang Garut

Pada 1978, potensi panas bumi di lapangan Kamojang terbukti mampu dimanfaatkan dengan dibangunnya monoblok/pembangkit dengan kapasitas 0,25 MW. Tidak ingin menyia-nyiakan hal tersebut, pengeboran pun dilakukan di 14 titik. Kamojang pun mendapat predikat lapangan panas bumi pertama di Indonesia. Kapasitas produksinya mencapai 1.752 Gwh per tahun.

Di tempat ini, masyarakat awam bisa memanfaatkan panas bumi secara praktis, seperti merebus telur ataupun mandi di sumber air panas yang dipercaya dapat menghilangkan penyakit kulit dan membugarkan badan. Tidak hanya itu, sebagai sarana hiburan, beberapa orang juga memainkan bunyi-bunyian di kawah kereta api.

Kawasan konservasi yang melindungi keanekaragaman hayati Jawa bagian Barat ini membuktikan panas bumi juga dapat menjadi daya tarik wisata. Berkaca pada fenomena vulkanik ini, masyarakat sekitar tergugah untuk membangkitkan pariwisata desanya.

Dulu, desa ikut mengelola Taman Wisata Alam Kamojang. Bahkan sebagian pendapatan dapat digunakan untuk membeli tanah desa,” terang Ahmad Saiful Rahman, sekretaris Kelompok Penggerak Wisata Desa Geothermal Laksana, Ibun, Kabupaten Bandung.

Desa Laksana memang bersentuhan langsung dengan berbagai pihak yang mengelola dan memanfaatkan panas bumi Kamojang. Selain bekal sumber daya alam, Laksana juga punya modal sosial dalam pengembangan desa wisata geotermal. Potensi inilah yang mendorong desa mengembangkan pariwisata.

Danau Pangkalan setelah dilakukan konservasi. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Dampak nyata dari berkembangnya pariwisata di tempat ini adalah adanya usaha pengembangan wisata Danau Pangkalan.

Revitalisasi Danau Pangkalan memang sedang dilakukan oleh pemerintah dan Pertamina Geothermal Energy sebagai bagian dari pengembangan desa wisata geotermal. “Telah diinisiasi pengerukan telaga,” lanjut Saiful.