Nationalgeographic.co.id – Di Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK), Kabupaten Garut, Jawa Barat, enam perawat rutin mengunjungi elang di kandang-kandang mereka. Ini harus dilakukan sebab perubahan perilaku burung pemangsa tersebut sangat bergantung pada pengamatan intens para reksa.
Satu perawat membawahi kandang tertentu sesuai tahap-tahap rehabilitasi. Mereka akan memberikan mangsa hidup berupa marmut, belut, dan ikan, setiap pagi. Namun, bagi elang yang belum mampu berburu, mencabik, dan membunuh mangsa hidup, mereka akan diberikan mangsa mati.
Populasi elang yang direhabilitasi di PKEK didominasi elang brontok, elang ular, dan elang jawa. Ini adalah jenis elang yang masih menjadi sasaran utama perburuan dan perdagangan ilegal.
Baca Juga : Rahasia Penglihatan Elang yang Menjadikannya Sebagai Predator Ulung
Pada dasarnya, elang harus hidup bebas di alam liar. Mereka yang terlanjur dipelihara manusia, harus menjalani pemulihan sebelum dilepasliarkan. Namun, menurut para penjaga elang, proses rehabilitasinya tak pernah mudah.
Gangguan fisik dan perilaku
Setiap individu elang yang tidak terbiasa hidup di alam liar memiliki problem medis yang berbeda-beda. Dian Tresno Wikanti, dokter hewan di PKEK, menjelaskan salah satu kasus yang dialami elang ular bernama Sinta.
Setelah berusia dua atau tiga bulan, biasanya elang sudah bisa makan sendiri, namun ini tidak terjadi pada Sinta. Ia masih belum bisa mengelola peletnya, yaitu memuntahkan material yang tidak bisa dicerna ususnya. Memuntahkan pelet adalah kebiasaan elang di alam. Tentu saja Sinta yang selama ini hidup dalam cengkraman manusia tidak bisa melakukannya.
Selain Sinta, ada juga Lina yang enggan mengasah cakar dan paruhnya. Akibatnya, paruhnya tumbuh abnormal, yang mempersulit Lina makan. Kalaupun makan, Lina tidak mencabik, tapi menelan daging.
Tak hanya rehabilitasi medis, elang yang pernah dipiara manusia juga memerlukan pemulihan perilaku.
“Rehabilitasi perilaku jauh lebih sulit daripada rehabiltasi kesehatan,” ujar Dian.