Suka Duka Para Perawat Elang di Pusat Konservasi Kamojang Garut

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 28 September 2018 | 09:40 WIB
Petugas PKEK membersihkan kandang yang rutin dilakukan setiap hari. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id – Di Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK), Kabupaten Garut, Jawa Barat, enam perawat rutin mengunjungi elang di kandang-kandang mereka. Ini harus dilakukan sebab perubahan perilaku burung pemangsa tersebut sangat bergantung pada pengamatan intens para reksa.

Satu perawat membawahi kandang tertentu sesuai tahap-tahap rehabilitasi. Mereka akan memberikan mangsa hidup berupa marmut, belut, dan ikan, setiap pagi. Namun, bagi elang yang belum mampu berburu, mencabik, dan membunuh mangsa hidup, mereka akan diberikan mangsa mati.

Populasi elang yang direhabilitasi di PKEK didominasi elang brontok, elang ular, dan elang jawa. Ini adalah jenis elang yang masih menjadi sasaran utama perburuan dan perdagangan ilegal.

Baca Juga : Rahasia Penglihatan Elang yang Menjadikannya Sebagai Predator Ulung

Pada dasarnya, elang harus hidup bebas di alam liar. Mereka yang terlanjur dipelihara manusia, harus menjalani pemulihan sebelum dilepasliarkan. Namun, menurut para penjaga elang, proses rehabilitasinya tak pernah mudah.

Gangguan fisik dan perilaku

Setiap individu elang yang tidak terbiasa hidup di alam liar memiliki problem medis yang berbeda-beda. Dian Tresno Wikanti, dokter hewan di PKEK, menjelaskan salah satu kasus yang dialami elang ular bernama Sinta.

Setelah berusia dua atau tiga bulan, biasanya elang sudah bisa makan sendiri, namun ini tidak terjadi pada Sinta. Ia masih belum bisa mengelola peletnya, yaitu memuntahkan material yang tidak bisa dicerna ususnya. Memuntahkan pelet adalah kebiasaan elang di alam. Tentu saja Sinta yang selama ini hidup dalam cengkraman manusia tidak bisa melakukannya.

Selain Sinta, ada juga Lina yang enggan mengasah cakar dan paruhnya. Akibatnya, paruhnya tumbuh abnormal, yang mempersulit Lina makan. Kalaupun makan, Lina tidak mencabik, tapi menelan daging.

Tak hanya rehabilitasi medis, elang yang pernah dipiara manusia juga memerlukan pemulihan perilaku.

“Rehabilitasi perilaku jauh lebih sulit daripada rehabiltasi kesehatan,” ujar Dian.

Mereka yang terlibat dalam Pusat Konservasi Elang Kamojang. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Contohnya, elang bernama Domas yang memiliki perilaku sangat agresif. Beberapa kali ia menyerang perawat satwa yang membersihkan kandangnya. Bahkan, ada perawat yang terluka akibat cakar Domas yang sangat tajam dan runcing. Tiga cakar Domas meninggalkan goresan berdarah-darah di dahi sang perawat.

Muhammad Kusnaedi, salah seorang perawat elang yang bertugas di kandang rehabilitasi, mengatakan, perlu dua orang jika ingin membersihkan kandang Domas.

“Yang satu membersihkan kandang, yang lain menghalau Domas. Atau, yang paling aman, membersihkan kandang saat Domas makan,” katanya.

Tentang virus mematikan

Para perawat pernah melewati masa-masa sedih di Pusat Konservasi Elang Kamojang. Masa kelam itu terjadi pada akhir November sampai awal Desember 2017. Saat itu, ada wabah mematikan yang menyerang 39 ekor dari 96 elang di pusat konservasi ini.

Zaini Rahman, manajer lapangan PKEK, mengisahkan, saat ditemukan seekor elang yang sakit, tak seorang pun menduga terjadinya serangan virus. Saat itu, memang belum muncul dugaan wabah mengingat pada saat bersamaan dengan siklon tropis Dahlia. Namun, beberapa hari berselang, 10 elang ditemukan sakit, yang diikuti dengan kematian 7 elang pada hari yang sama.

Baca Juga : Pelepasliaran Elang Bondol di Kepulauan Seribu

Sampai akhir Desember 2017, wabah virus tetelo itu merenggut nyawa 37 elang. Bahkan, PKEK sempat ditutup sementara dari publik.

Zaini menuturkan, kemungkinan ada beberapa dugaan menyebarnya wabah tetelo. Secara internal, ada beberapa kemungkinan: keamanan hayati (biosecurity) yang kurang maksimal, atau adanya elang yang belum dicek medis secara memadai.

“Mungkin juga, perawat satwa menjadi perantara masuknya virus,” papar Zaini. Kemungkinan lain, siklon tropis Dahlia yang melanda kawasan Jawa Barat bagian selatan membuat paparan sinar matahari berkurang. Akibatnya, virus berkembang cepat, dan menyerang elang. Dugaan lainnya, virus menyebar dari burung puyuh yang menjadi pakan elang. Untuk mencegah penularan lebih lanjut, pengelola membakar elang-elang yang mati.

Personel PKEK bersama-sama menyantap makan malam di dapur. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Peristiwa itu memberikan pelajaran penting dalam pengelolaan Pusat Konservasi Elang Kamojang. Zaini menyatakan, salah satu pembelajaran adalah pemilihan lokasi pusat konservasi yang jauh dari permukiman.

“Itu mencegah menularnya virus ke permukiman, dan sebaliknya.” “Kita juga menerapkan keamanan hayati lebih ketat. Siapa pun yang memasuki kandang harus mandi dan berganti baju,” Dian menimpali.

Untuk mencegah virus dari luar, kini pusat konservasi tidak lagi memberi elang dengan mangsa unggas. Ini mengingat berdasarkan hasil nekropsi dan analisis laboratorium, salah satu indikasi sumber virus berasal dari sumber pakan elang, yaitu burung puyuh. Elang-elang yang baru tiba juga dites medis untuk mengetahui kesehatannya untuk mendeteksi virus tetelo, virus gumboro, dan virus flu burung.

Hari bahagia

Para perawat bisa melepas napas lega setiap elang yang menjalani rehabilitasi di PKEK akhirnya berhasil dilepasliarkan kembali ke alam liar. Salah satu elang yang berhasil dilepasliarkan adalah Jujuk. Tanpa aba-aba, Jujuk melesat terbang.

Untuk beberapa hari ke depan, para perawat elang akan memantau keadaan Jujuk. Mereka bergiliran memantau setelah tugas rutin di Pusat Konservasi selesai. Dari pemantauan, dapat dilihat perkembangan si elang di alam bebas.

Baca Juga : Diadopsi Elang Botak, Elang-alap Berperilaku Layaknya Keluarga Angkatnya

Pada kasus tertentu, elang yang dilepasliarkan dapat kembali ke Pusat Konservasi. “Misalnya Jujuk tidak mampu mencari pakan, ia bisa kita rehabilitasi lagi.”

Hingga hari ketiga, Jujuk tidak terdeteksi di lokasi pelepasliaran. Untuk memastikan keberadaan Jujuk, pemantauan akan dilanjutkan dengan menyusuri kawasan wisata alam. Bahkan sudah bebas pun, elang yang pernah dipiara masih menuntut perhatian.

Satu hal yang pasti, Jujuk telah melewati masa-masa kritis selama berbulan-bulan sebelum menghirup udara bebas. Kemerdekaan Jujuk juga berarti kepuasaan bagi para perawatnya.