Nationalgeographic.co.id - Buoy merupakan alat yang sangat strategis dalam upaya pengamatan pergerakan permukaan laut oleh tsunami. Namun ternyata, sejak 2012, buoy mengalami kerusakan dan tidak beroperasi hingga sekarang.
Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan, buoy, sebagai salah satu alat pendeteksi tsunami di Indonesia banyak yang mengalami kerusakan.
Alat yang dilengkapi sensor ketinggian permukaan air ini berperan dalam mengirimkan informasi ketinggian gelombang saat tsunami terjadi kepada institusi terkait.
"Detail dan sebagainya bisa ditanyakan kepada BMKG karena yang mengurusi semua terkait Tsunami Early Warning System (TEWS) di Indonesia itu dikoordinir di BMKG," ungkap Sutopo, dalam presentasi penanganan bencana tsunami Palu kepada wartawan, Minggu (30/9/2018).
Baca Juga : Tidak Terprediksi, Namun Jakarta Perlu Waspada Gempa Sunda Megathrust
Sutopo menambahkan, alat pendeteksi tsunami tersebut dapat menekan potensi jumlah korban akibat terjangan gelombang air laut. Pada saat pemahaman masyarakat akan mitigasi bencana gempa dan tsunami masih minim, di sisi lain alat ini membantu pemerintah dalam usaha evakuasi awal.
Terkait kerusakan buoy, Sutopo berharap akan adanya dukungan inovasi alat deteksi dini tsunami yang bisa dipasang dan terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh manusia. "Mungkin bisa juga dikembangkan sensor-sensor bawah laut yang ditempatkan di bawah laut. Sehingga bisa disampaikan (informasi terkait), kita sangat memerlukan," ujarnya.
Sejalan dengan Sutopo, Bambang Soesatyo, Ketua DPR meminta agar pemerintah segera menyiapkan pengadaan buoy untuk mendeteksi dini tsunami.
"Kami meminta pemerintah melalui Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap pengadaan buoy, untuk segera mengadakan kembali buoy yang baru sebagai upaya dalam mengganti buoy yang rusak," ucap Bambang.
Lebih lanjut Bambang mengatakan bahwa pemasangan kembali buoy di seluruh perairan Indonesia harus dilakukan secepat mungkin, terutama di daerah yang sering terjadi gelombang besar ataupun daerah rawan tsunami.
Selain itu, Bambang juga meminta kepada BMKG untuk tetap memanfaatkan modelling tsunami yang berfungsi dalam memberikan informasi peringatan dini (early warning) tsunami.
Melalui Badan Anggaran (Banggar), DPR akan memberikan dukungan kepada BNPB dan BPPT dalam penyusunan anggaran, baik untuk pengadaan buoy maupun anggaran pendanaan bencana. "Intinya untuk anggaran yang sangat berpengaruh terhadap upaya mitigasi bencana," kata Bambang.
Dilansir dari Kompas.com pada Selasa (2/10/2018), sebelumnya Indonesia memiliki 21 buoy yang yang berasal dari hibah Jerman, Amerika Serikat, dan Malaysia.
Baca Juga : Menghadapi Gempa Megathrust, Sebaiknya Persiapkan Perlengkapan Darurat Ini
Terkait hal ini, Sutopo mengungkapkan bahwa persoalan anggaran lah yang membuat Indonesia belum kembali memiliki buoy. Sutopo mengatakan bahwa harga satu buoy bisa mencapai Rp2 triliun, walau selalu mengalami penurunan harga setiap tahunnya.
Rusak atau dicuri
Terkait "pelampung" yang berfungsi sebagai pengukur ketinggian gelombang laut ini, beberapa media juga mengangkat mengenai hilangnya buoy di perairan Indonesia. Hal ini bersumber dari pernyataan Menko Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan bahwa buoy di Aceh maupun di Palu hilang dicuri dan mengakibatkan langkah peringatan dini menjadi terhambat.
Lebih lanjut Luhut juga mengatakan bahwa banyaknya korban dalam peristiwa tsunami Palu diakibatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mencuri buoy tsunami.
Sutopo, melalui akun twitternya, pada Maret 2018 pernah mencuit adanya buoy yang terdampar dan kemudian dilakukan penarikan oleh nelayan setempat dan aparat. Alat yang ditemukan di Pantai Ngadipuro, Kecamatan Munjungan, Trenggalek, Jawa Timur ini dalam kondisi rusak.
Walaupun tanpa adanya buoy pengamatan tsunami tetap dapat dilakukan, namun hal ini membawa konsekuensi tersendiri. Contohnya adalah saat gempa yang terjadi pada Desember 2017. Saat itu peringatan tsunami di pesisir Pangandaran berlangsung selama tiga jam, tanpa adanya tsunami.
Berkebalikan dengan contoh di atas, pada tsunami Palu, ketinggian gelombang tsunami tidak dapat dipastikan karena ketiadaan buoy di sana. Akibatnya tsunami yang menghantam Palu tersebut mengejutkan banyak pihak—termasuk luar Indonesia—karena kekuatannya jauh lebih besar dari yang diprediksi.
Baca Juga : Gempa Sunda Megathrust Berpotensi Merusak Jakarta