Bubu Apung, Perangkap Ikan Ramah Lingkungan dari Sulawesi Utara

By Nesa Alicia, Jumat, 19 Oktober 2018 | 17:07 WIB
Bubu Apung (Isrojati J Paransa/Mongabay Indonesia)

Isrojati mengatakan bahwa bubu apung ini memanfaatkan predasi (pemangsaan). Jadi bila ada ikan besar yang akan menyerang, ikan kecil akan masuk ke dalam perangkap tersebut. 

Dalam pengoperasian bubu apung maksimal hanya tiga hari. Ini dilihat dari penelitian terdahulu: dalam waktu 72 jam saja ikan sudah dapat mengenali lingkungan bubu dan dapat keluar dengan sendirinya. 

Riset ini setidaknya masih dilakukan hingga enam bulan mendatang. Hingga saat ini, mereka masih berupaya untuk mengetahui pintu mana saja yang dapat memberikan hasil yang lebih maksimal. 

“Karena mempertimbangkan arus, juga arah serangan. Di mana kecenderungan serangan itu. Untuk sekarang, yang lebih banyak adalah pintu depan dan belakang,” ujarnya. 

Dengan adanya bubu apung diharapkan dapat menjadi alat tangkap alternatif yang dapat diperkenalkan kepada nelayan. 

Apabila perangkap ini dapat berhasil dengan baik, maka meraka akan mengusulkan kepada pemerintah kabupaten untuk pengadaan alat tangkap ini. 

Diversifikasi alat tangkap diyakini dapat menjadi solusi untuk mengoptimalkan peraturan dalam Peraturan Mentri KP No.2/2015. Apabila pemerintah melarang penggunaan beberapa alat tangkap, sudah seharusnya disedikan alat tangkap alternatif dan didistribusikan kepada nelayan.

Baca Juga : Merarik, Tradisi Melarikan Calon Mempelai Wanita di Suku Sasak

Nelayan kelurahan Sario Tumpaan, Kota Manado, Danny Telleng mengatakan, meskipun jumlahnya relatif kecil, nelayan di beberapa daerah di Sulawesi Utara masih menggunakan pukat pantai, salah satu alat tangkap yang dilarang dalam Peraturan Mentri KP tersebut.

Sebagian nelayan diperkirakan masih belum mengetahui larangan menggunakan beberapa alat tangkap. Selain itu, para nelayan juga merasa belum mendapatkan solusi dari larangan tersebut.

Meski begitu, Danny setuju dengan larangan penggunaan alat tangkap. Menurutnya, sebelum peraturan tersebut dibuat, nelayan di Sulawesi Utara sudah menolak penggunaan alat tangkap seperti cantrang atau pukat tarik. Sebab, penggunaan cantrang dapat merusak dasar perairan dan memutus rantai makanan. Karena wilayah operasinya yang luas, cantrang cenderung memonopoli wilayah tersebut sehingga menggangu nelayan yang sedang memancing ikan. 

“Selain merusak dasar perairan, ikan yang tidak mereka butuh, mereka buang. Misalnya kalau mereka tangkap udang, hanya udang yang mereka ambil. Ikan lain yang tertangkap dibuang,” jelas Danny.