Kisah Masyarakat yang Hidup Berdampingan dengan Harimau

By Lajovi Pratama, Senin, 22 Oktober 2018 | 12:56 WIB
Masyarakat dan harimau sama-sama membutuhkan hutan. (Edy Susanto)

“Kearifan itu sebagian dibawa dari daerah asal, sebagian dari lokal Lampung.” Kendati cukup variatif, akhirnya masyarakat bisa berbagi ruang dengan harimau. Jadi, lanjut Firdaus, masyarakat memandang harimau sebagai makhluk meruang, bukan perabot atau patung.

Azas hidup bersama satwa liar diperlukan dalam pelestarian harimau di lanskap Bukit Barisan Selatan. Apalagi, sebagian besar masyarakat mengenal harimau justru saat terjadi konflik . Muncul stigma bahwa harimau adalah pengganggu ketenteraman hidup. Perspektif negatif itulah yang sebenarnya ‘membunuh.’

Baca Juga : Banyak Hewan Laut Terdampar di Pesisir Pantai, Akibat Pengaruh Gempa?

Ini berbeda dengan masyarakat yang sehari-hari merasakan kehadiran sang pemangsa. Berbekal fondasi kearifan lokal, pelestari membuka kesempatan menyisipkan pengetahuan mitigasi kepada masyarakat. “Mereka yang belum menerima prakondisi mitigasi konflik, biasanya berpandangan menang-kalah. Tidak ada lagi ruang bagi harimau,” imbuh Firdaus. “Ini berbeda dengan masyarakat yang sudah tersentuh pengetahuan mitigasi. Mereka bisa berbagi ruang hidup dengan harimau.”

Luasnya lanskap harimau memang menuntut banyak pihak turun tangan dalam upaya mitigasi konflik. Betapa berwibawanya pemangsa ini. Saat konflik meletup, ia memaksa banyak pihak turun tangan. Penyelesaian dan pencegahan sengketa tidak bisa dilakukan satu-dua pihak.

Sebagai satwa yang dilindungi, bila harimau berkeliaran di luar taman nasional, kewenangan ada di Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Sementara pengelolaan taman nasional, jantung lanskap harimau, ada di Balai Taman Nasional. Dua pihak ini berada dalam naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pihak lain adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan, yang mengelola kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Bila konflik ada di kawasan hutan produksi dan lindung, KPH wajib terlibat. Instansi ini di bawah pemerintahan provinsi. Hingga titik ini, ada tiga pihak berwenang yang mesti terlibat dalam merespon konflik, entah yang berlevel rendah, sedang, maupun tinggi.