Mengenal Simbah dan Mitos Terkait, dalam Bingkai Budaya Jawa

By Lajovi Pratama, Selasa, 23 Oktober 2018 | 12:56 WIB
Jejak harimau. (Edy Susanto)

Nationalgeographic.co.id - Perjumpaan dengan harimau, bagi penduduk hutan memang tidak terelakkan. Pada awal pembukaan hutan, warga biasa menjumpai jejak ataupun bertemu langsung dengannya.

Ismanu, adalah generasi pertama masyarakat yang membuka hutan pada tahun 1984. Ia membabat lahan baru bersama 23 orang dari Jawa dan Sunda. “Lahan di kampung halaman sudah sempit. Lahan pertanian sudah tidak ada, membeli tanah juga tidak mampu. Sampailah saya di tempat ini pada 1984.” Dari seluruh generasi pertama, hanya dia yang bertahan di hutan sekitar Talang Tengah, Ngaras.

Saat itu masih hutan belantara, namun perusahaan kayu memegang kendali atas pengusahaan hutan—kini dikelola oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan I Pesisir. “Kita masuk hutan dengan mengikuti perusahaan. Kayu-kayu besar berdiameter sedepa habis ditebangi perusahaan. Jadi, saya membuka hutan sisa tebangan,” kenangnya. “Setiap orang pukul rata membuka lahan selebar 100 meter dengan panjang sejauh-jauhnya sesuai kemampuan.”

Baca Juga : Mengenang Tragedi Penyanderaan Ratusan Pengunjung Teater Dubrovka

Untuk menopang hidup, selama tiga tahun pertama, generasi perintis ini menanam padi ladang, sambil menunggu tanaman kopi bisa dipetik. “Saya menanam cengkeh. Seandainya cengkeh bisa tumbuh dengan baik, saya sudah sejahtera. Lalu, ganti cokelat yang ternyata tanaman manja yang perlu perawatan. Akhirnya, menanam karet, sampai sekarang.”

Pada masa awal pembukaan lahan, gajah, harimau, dan tapir kerap menjelajahi kawasan ini. “Rumah ini pernah digoyang gajah. Warna putih di dinding itu bekas goresan belalai gajah,” katanya, seolah itu monumen penanda betapa tua usia rumahnya. Hampir 35 tahun mendiami kawasan hutan, ia merasakan resahnya bertikai dengan gajah. “Gajah yang paling menakutkan karena bisa merobohkan rumah,” imbuhnya, “tetapi, tidak ada konflik dengan harimau.”

Ismanu datang dari Blitar, Jawa Timur. Ia mengenal satwa ini dalam bingkai budaya. Sekitar 12 kilometer di selatan Blitar, terdapat desa perdagangan Lodoyo yang setiap tahun menggelar tradisi memandikan gong Kyai Pradah. Tradisi setiap maulud ini menarik khalayak dari berbagai penjuru Jawa Timur—semeriah dan berbarengan dengan Sekaten, Yogyakarta.

“Dulu katanya, harimau Lodoyo gede-gede,” tuturnya. Di masa silam, setiap Lebaran, Blitar dan Kediri menghelat rampogan macan: adu harimau versus kerbau. Tradisi ini cukup dikenang, lantaran dua daerah ini masih menggelar rampogan hingga awal abad ke-20. Sementara di wilayah lain, tidak ada lagi rampogan seiring berkurangnya populasi harimau jawa. (Pada masa kini, beberapa grup kesenian kuda lumping di Blitar menciptakan tarian Rampogan Singa Barong, yang terinspirasi dari rampogan macan. Ini mengingatkan akan ritual Ngagah Harimau di Kerinci.)

Mengidentifikasi jalur perjalanan harimau. (Edy Susanto)

Kendati telah punah, harimau jawa hidup abadi dalam tradisi Lodoyo, dengan nuansa mitos, mistik, dan angker. “Dulu ada mahasiswa seni ingin memindahkan patung harimau di petilasan Kyai Pradah, dan beberapa hari kemudian ada harimau mengamuk. Saya juga beberapa kali ikut memandikan Kyai Pradah,” tutur Ismanu, yang kakak mertuanya menjadi juru kunci di petilasan Kyai Pradah.

Mitos harimau membuat orang Lodoyo dipandang sakti, bisa berubah wujud menjadi harimau, (persis seperti kepercayaan lokal Kerinci, Jambi.) Sebagian perantau Jawa di Lampung, ungkapnya, untuk menyelesaikan perkara hidup, mencari tuah harimau di Lodoyo.

Dengan kepercayaan harimau mitos, Ismanu bertemu dengan harimau nyata di pedalaman Bukit Barisan. Ia mendengar beragam pandangan lokal ihwal pemangsa ini. “Ada yang bilang, kalau bertemu manusia, ia tidak akan mendapatkan makanan selama 40 hari. Jadi, sifat binatang itu sebenarnya menghindari manusia. Kalau bertemu manusia, dia tepergok betul.” Kepercayaan ini hampir dapat dijumpai di segenap lanskap harimau di Sumatra.

Namun, perjumpaan dengan harimau memang tidak terelakkan. Harimau dikenal suka berjalan di setapak, punggung bukit, dan jalur lintasan yang bersih. Ia tidak menerabas belukar, kecuali saat berburu sembunyi-sembunyi.

Baca Juga : Sempat Menjadi Sajian Mewah, Begini Sejarah Es Batu di Indonesia

Penduduk hutan akhirnya mengembangkan sebentuk adaptasi hidup bersama harimau berdasarkan campuran kearifan daerah asal dan setempat. Kearifan Jawa terlihat dari panggilan hormat bagi gajah dan harimau: simbah, atau eyang, nenek. “Gajah kita panggil simbah gede, harimau kita panggil simbah loreng, atau simbah karet: yang mencakar sambil menyeret,” ujar Ismanu yang mewakili generasi pendatang dengan pandangan budaya Jawa.

Jarang sekali penduduk di bentang alam Bukit Barisan Selatan memakai kata harimau. Mereka memakai beragam kata ganti: simbah, nenek, dia, ‘yang itu’, ‘yang satu itu’, si kumis, si loreng ataupun ‘binatang itu’. Menyebut kata harimau, dipercayai hanya mencari perkara: memanggil si predator. Harimau punya telinga bumi. Bila menyebut harimau, kata ini merambat di dalam tanah, ia mendengar, lalu datang.

Saat membuka hutan, papar Ismanu, orang membawa golok dalam sarung kayu yang bisa berbunyi sewaktu berjalan. Tujuannya, harimau tidak mendekat. “Atau, kita merokok sehingga bau asapnya mengusir ia pergi. Malam pun bila melihat kilatan lampu senter, ia akan menyimpang. Itu sifatnya.”