Black Death dan Wabah Mematikan Bisa Terjadi Akibat Perubahan Iklim

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 24 Oktober 2018 | 12:13 WIB
Gambaran kekacauan Eropa ketika Wabah Hitam melanda di abad ke-14. (SSPL via Getty Images/Discovery News)

Nationalgeographic.co.id – Menurut seorang profesor dari Oxford University, pemanasan global bisa ‘membangunkan' kembali penyakit-penyakit kuno mematikan. Juga memicu wabah Black Death yang pernah membunuh 2/3 populasi Eropa pada abad ke-14.

Suhu global yang semakin tinggi akan melelehkan lapisan es yang menyimpan bakteri. Artinya, bakteri penyebab penyakit akan tersebar dengan mudah dan menciptakan pandemi global.

Profesor Peter Frankopan menyampaikan prediksinya di Cheltenham Literary Festival, Jumat (19/10) lalu. Profesor sejarah dunia ini mengatakan, ada bahya yang mengintai jika kita tidak bisa memenuhi target Persetujuan Paris (Paris Agreement) untuk menahan laju peningkatan temperatur global di bawah 2 derajat celsius.

“Yang akan terjadi adalah melelehnya permafrost dapat melepaskan agen biologis yang telah terkubur selama ribuan tahun,” katanya.

Baca Juga : Menolak Vaksin, Korban Jiwa Akibat Penyakit Campak Semakin Meningkat

Dan karena bakteri kuno tersebut dirilis kembali ke ekosistem Bumi, ada risiko populasi dunia akan terkena penyakit yang sulit ditangani. Contohnya seperti wabah Black Death yang terjadi di Abad Pertengahan akibat kenaikan suhu.

“Sebagai contoh, pada 1340-an, Bumi yang lebih panas – kemungkinan akibat suar matahari atau aktivitas gunung berapi – mengubah siklus bakteri Yersinia pestis. Memungkinkan mikroba kecil berkembang menjadi Black Death,” ungkap Frankopan.

Peringatan Frankopan tentang skenario terburuk dari pemanasan global di masa depan ini sesuai dengan kasus yang baru terjadi. Permafrost yang mencair terbukti menimbulkan bahaya serius bagi manusia.

Pada 2016, anak laki-laki berusia 12 tahun meninggal dan 40 orang lainnya dirawat di Siberia setelah terinfeksi antraks.

Antraks tersebar ketika temperatur tinggi di musim panas melelehkan permafrost. Bakteri ini awalnya membunuh rusa-rusa yang tinggal di wilayah tersebut. Sekitar 1.500 rusa kutub mati akibat antraks. Dan karena beberapa penduduk lokal terlanjur memakan daging rusa yang terinfeksi, maka mereka pun ikut terinfeksi.

Bakteri yang terlepas dari permafrost tersebut juga menyebar ke air dan tanah, lalu memasuki rantai makanan manusia.

Baca Juga : Mikroplastik Ditemukan Pada Kotoran Manusia, Kita Benar-benar Mengonsumsinya?