Nationalgeographic.co.id - Abdurrahman, pemangku adat di Desa Ngaol, Tabir Barat, menuturkan bahwa harimau dipandang sebagai sahabat manusia. “Setiap membuka kebun, generasi orang tua kami menyajikan sesajian untuk harimau.” Kehadiran harimau akan menjaga ladang dan kebun dari serangan hama babi hutan. “Ia memang datang, jejak-jejaknya ada di sekitar sajian.”
Desa Ngaol mengelola hutan adat, dan sedang mengusulkan hak kelola hutan desa di perbatasan taman nasional. Hutan Desa Sutan Benok itu berbukit-bukit, rimbun, dan liar, yang melindungi daerah tangkapan air Sungai Tabir.
Di hutan adat, Abdurrahman mengisahkan, terdapat gelanggang dan peraduan harimau. Gelanggang itu tempat harimau bermain bersama anak-anaknya. Tempatnya bersih, datar, dan teduh,” tambahnya. Sementara peraduan adalah tempat harimau beristirahat. “Kami tahu tempat itu dari jejak dan bekas bulunya,” kata pria yang pernah bertemu dengan harimau di jalanan desa ini.
Baca Juga : Begini Cara Membedakan Tahi Lalat Normal Dengan yang Tanda Kanker
Pada musim-musim tertentu, harimau berkeliaran di pinggiran desa, kebun dan ladang. “Ia turun pada musim-musim tertentu, tidak terlalu sering, dan tidak sampai ada perkelahian.”
Masyarakat memiliki sebuah mekanisme adat tersendiri untuk meredakan konflik yang terjadi. Yaitu, mengusir harimau dengan bebunyian. “Kita memberi isyarat dengan membunyikan gong di lintasan harimau. Biasanya , ia memangsa ternak yang tidak dikurung. Yang di dalam kandang, tidak pernah.”
Setelah tiga kali diberi isyarat, dan masih mengganggu, papar Abdurrahman, berarti harimau itu sudah salah niat. “Kami terpaksa memasang kandang perangkap sekuat-kuatnya. Kami menyumpahi harimau liar itu agar masuk perangkap. Sumpah kami akan menembus hutan, ia dengar, dan masuklah ke perangkap. Ia bukan lagi nenek, ia liar,” jelasnya sambil menjelaskan bahwa nenek adalah sebutan hormat bagi satwa berloreng itu.
Hanya saja, semasa hidupnya, Abdurrahman belum pernah menyaksikan masyarakat Ngaol menangkap harimau yang mengganggu desa. “Itu generasi bapak-bapak kami dulu,” sambung lelaki yang mendekati usia 50 tahun ini.
Ngaol beruntung. Konflik harimau dan manusia sudah lama reda. Tradisi adat masih dituturkan dari generasi ke generasi, sementara hutan adat yang menaungi desa masih didiami harimau. Di wilayah lain, kepunahan lokal harimau menyeret tradisi turut sirna.
U... nek, munyang tingkaih, nga bugle… mangku gunung ayo u… nek, rintek ujan paneh, uhang gagoah dipunglimo tingkah u… nek, ulu balang tigea, badan sibatoa ujud lanyo tigea…
Lantunan syair terdengar dari tepian Danau Kerinci, Pulau Tengah. Gemanya memanggil leluhur, penunggu pematang bukit. Dentuman gendang dan rebana mengiringi suara Oktaviani yang lantang, mengundang masyarakat.
Generasi milenial mengelilingi para penari putri yang berdiri di tengah arena. Para penari menatap patung harimau, mempersembahkan tombak, kain, cermin, dan sebilah keris, sebagai simbol santunan atau bayar bangun harimau mati. Satu per satu, benda itu dihadapkan pada sang harimau. Harimau kertas berangka besi ini dibuat pada 1960-an, usianya jauh di atas penari.
Dalam keramaian penonton, tubuh Harun Nahri tenggelam di antara kerumunan muda-mudi yang trendi. Mulutnya komat-kamit menirukan mantra adat yang kini jadi tembang berirama itu. Tubuhnya bergetar. “Syair itulah yang dulu diucapkan tetua adat saat me-Ngagah Harimau,” kata lelaki 75 tahun ini.
Ngagah Harimau adalah tradisi Pulau Tengah untuk menyantuni harimau yang mati. Istilah lokalnya, bayar bangun. Dahulu, setiap ada harimau mati, warga mengaraknya dengan tepuk tari, silat pedang, silat tangan kosong, dan silat tombak. Pemangku adat lantas menyeru penunggu pematang di tujuh bukit, tujuh jurang, tujuh pematang, untuk menyaksikan ini.
“Setelah disantuni, selesai perselisihan. Manusia dan harimau kembali harmonis demi kenyamanan anak-cucu.” Bila tidak dibayar bangun, lanjut Harun, harimau hidup akan kembali mengganggu masyarakat.
Baca Juga : Dari Hulk Hingga Einstein, NASA Rilis 21 Nama Rasi Bintang Terbaru
Semenjak 1960-an, Pulau Tengah sudah tidak lagi menggelar Ngagah. Karena, ujar Harun, sudah tidak ada harimau mati. Tanpa kreativitas Harun, tradisi sejenis mitigasi konflik ini tidak akan dikenal generasi muda. Namun, tradisi itu kini hidup lagi.
Dahulu, Kerinci adalah hutan belantara. “Harimau bisa saja menghabiskan manusia Kerinci. Tapi harimau tidak mau,” ucapnya. Ia pun menyaksikan betapa manusia membabati hutan belantara di perbukitan Pulau Tengah. Bukit yang menaungi desa perlahan gundul.
Mendekati puncak, tempo irama kian cepat. Tubuh Mesi Anggraeni melayang, lalu melabrak patung harimau. Pawang Ngagah menghela remaja putri itu. Mesi mengerang, jari-jari tangannya mencakari tanah. Dua penonton terkapar di tepi kalangan pentas.
Para penari bergelimpangan. Kini tinggal tiga penari yang masih sadar, dan melanjutkan pertunjukan. Hingga akhir, yang gaib masih terperangkap dalam tubuh Mesi.
Bertahun-tahun, melalui kesenian ini, Harun mengirim pesan punahnya harimau kepada siapa saja. Di mana saja, dan kapan saja, saat sanggar tari yang digawangi anak-anak muda Pulau Tengah mementaskan Ngagah Harimau. Tetapi, “saya tidak didengar. Saya ini suara parau manusia kerdil dari tepi Danau Kerinci,” katanya. Ada emosi yang tertahan di tubuhnya yang renta.