Tiga Ayam Hitam dan Ayam Kuning Bagi Si Tak Kasat Mata dalam Tradisi Kerinci

By Lajovi Pratama, Jumat, 26 Oktober 2018 | 12:59 WIB
(Edy Susanto)

Nationalgeographic.co.id - Mantra itu menyeru dengan gaib dari segenap penjuru. Untuk dewa-dewa gunung, untuk yang angker, untuk Nabi Sulaiman. Sebuah seruan spesial buat sahabat yang mengaum dalam kegaiban.

Selepas tengah hari yang hangat, Mat Nasir, Saimun, dan Gindo Rahim, menghamparkan sesajian di sebentang pematang bukit. Dari dataran tinggi itu, di cekungan vulkanik seukuran kabupaten yang dikepung perbukitan, kota Kerinci berpendar diterpa matahari. Alam tropis membentang indah. Rasanya, ini pesta kebun dari tiga bersaudara untuk tiga sahabat.

Suara renta si sulung Mat Nasir memohon agar sahabat berkenan datang. Bagi yang tidak kasat mata, mereka menyongsong dengan tiga ayam hitam bakar, tiga ayam kuning bakar. “Ayam hitam untuk Nabi Sulaiman,” kata Mat Nasir. Ia adalah raja diraja segala makhluk hidup. “Ayam yang kuning, untuk dewa-dewa gunung.” Ada juga empat ragam beras: hitam, putih, kuning, dan merah. Untuk dewa-dewa gunung, ada lusinan bungkus bunga tujuh warna. Untuk yang angker, ada sirih, pinang, telur rebus. “Agar ia tidak marah,” ucapnya.

Baca Juga : Pemanasan Global Terjadi Lebih Cepat, Ini Bahaya yang Menghantui Bumi

Usai mantra terucap, waktu seakan berhenti. Mat Nasir dan Saimun menari lembut. Derap kaki di atas terpal mengiringi tarian lemah itu. Suara Mat Nasir yang resah melantunkan tembang kuno. Lirih. Matanya terpejam. Sementara itu, si bungsu Gindo Rahim tenggelam dalam sesemakan—entah di mana.

Tarian melambat, tubuh-tubuh tua itu berubah karakter. Mereka merangkak bagaikan harimau: mata nanar, mengaum, mencakari tanah. Gindo Rahim muncul dari sesemakan, mengendus sesajian. Ia menggondol ayam bakar, lalu bersembunyi di belukar. Persis seperti harimau: menyembunyikan mangsa. Ke mana pun ia menerabas semak, gigi Gindo Rahim mencengkeram ayam bakar itu. Tatapannya mencari-cari tempat sembunyi. Kemudian, belukar pun berkeresek diterjang oleh tubuhnya.

Disaksikan alam raya Kerinci, tiga anak manusia ini melintasi ruang dan waktu. Kesadaran dan tubuh mereka menyatu dengan yang liyan. “Harimau dari Kerinci masa silam. Harimau gaib. Harimau Allah,” ucap Mat Nasir. “Kami mendapat petunjuk dari nenek moyang,” lanjutnya tentang muasal persahabatan itu.

Dalam tradisi Kerinci, orang-orang spesial ini disebut sahabat harimau. Selain itu, ada juga pawang, orang yang dipandang punya kemampuan menjinakkan harimau. Pribadi-pribadi unik ini bisa di jumpai di segenap pelosok Kerinci. Tradisi lama juga mengenal kisah manusia Kerinci bisa berubah menjadi harimau—harimau jejadian. Mitos ini menggentarkan orang-orang luar.

Mat Nasir bersaudara sebenarnya jarang menggelar ritual persahabatan. Sebelum hari itu, terakhir mereka menghelat upacara pada dua tahun lalu. Saat ritual, mereka juga enggan dilihat banyak orang. “Kita melakukan ritual untuk kebaikan. Untuk melindungi diri di perjalanan, di gunung, di hutan. Juga untuk menggeser harimau yang mengganggu, menghalau binatang buas,” ujarnya. Nada bicaranya pendek-pendek. Ringkas. Ia lebih sering berbicara ketimbang dua adiknya.

Tradisi terkait harimau. (Edy Susanto)

“Tapi, tidak bisa bila satwanya tidak salah,” lanjutnya buru-buru. “Orang itu jujur, tidak mau (menghalau) bila tidak salah.”

Pada titik ini, ada dua kata yang kadang saling bertukar konteks. Kata ‘satwa’ mengacu pada harimau nyata. Frasa ‘orang itu’ merujuk pada harimau gaib. Mat Nasir jarang memakai kata harimau. Ia memakai kata pengganti ‘orang itu’, atau ‘ia’. Pada saat yang lain, ia memakai ‘orang itu’ untuk harimau gaib, juga harimau nyata.