Tiga Ayam Hitam dan Ayam Kuning Bagi Si Tak Kasat Mata dalam Tradisi Kerinci

By Lajovi Pratama, Jumat, 26 Oktober 2018 | 12:59 WIB
(Edy Susanto)

Lantas adakah hubungan antara harimau gaib dengan harimau sesungguhnya? “Ada, sedikit,” jawabnya, “dua-duanya ciptaan Allah.”

Karena keduanya adalah makhluk Allah, bila ada harimau menggerayangi kampung, mereka bisa membantu menghalau. “Kita memanggil orang itu untuk mencari tahu kesalahan manusia. Mungkin manusia punya janji yang belum dilunasi, atau punya hutang hajat. Caranya, dengan sesajian: utang ditepati, janji dibayar.”

Baca Juga : Di Desa Kongthong India, Setiap Warga Dipanggil dengan Lantunan Nada Bukan Nama

Seandainya mengusir harimau nyata secara keras? “Tidak mau. Orang itu lebih tua daripada manusia. Kalau dengan sesajian, dan kita mengaku salah, ia mau.”

Pada titik kedua ini, harimau menjadi ukuran moralitas manusia. Inilah pandangan dunia di bentang alam Kerinci—dan Sumatra. Tradisi menilai harimau yang berkeliaran di permukiman menandakan bahwa ada yang menggoyang sendi sosial.

Tiga jam perjalanan dari tempat ritual, harimau berkeliaran di Desa Pungut Mudik, Air Hangat Timur, Kerinci. “Itu manusia yang mengganggu. Rumahnya roboh, ia marah. Hutan habis, ke mana lagi ia mencari hidup,” tanya Mat Nasir tanpa tanda tanya.

Sahabat tiga bersaudara ini berasal alam gaib Gunung Tujuh dan Gunung Masurai di pedalaman taman nasional. “Gunung Tujuh tidak lagi suci, terlalu banyak dijamah manusia,” sergahnya, tentang kawasan yang populer dengan Danau Gunungtujuh itu. Sementara itu, demi serpihan emas, alat berat mencabik sungai-sungai yang berhulu di Gunung Masurai. Masurai, kata Mat Nasir, berasal dari kata emas yang terurai.

Pada titik ketiga ini, yang gaib memberikan tengara: alam telah berubah. Hutan-hutan dirambah oleh manusia. Harimau pun tersingkir. Tanpa harimau, gunung dan hutan kehilangan arwah penjaga. Hutan kosong, tidak lagi berwibawa.