Hati-hati, Terlalu Stres Dapat Membuat Volume Otak Anda Menyusut

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 26 Oktober 2018 | 14:35 WIB
Stres membuat kita merasa kelelahan, mual, dan tidak nafsu makan. (fizkes/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id – Mungkin Anda sudah mengetahui bahwa stres buruk bagi kesehatan. Namun, sebuah studi terbaru yang dipublikasikan pada jurnal Neurology mengatakan, itu juga berbahaya bagi otak Anda.

Menurut studi tersebut, orang-orang setengah baya dengan kadar hormon stres kortisol yang tinggi memiliki volume otak dan fungsi kognitif yang lebih rendah.

Hormon kortisol sendiri terlibat dalam berbagai proses kerja tubuh, termasuk metabolisme, imunitas, dan pembentukan memori. Namun, ekstra kortisol yang dilepaskan akibat respons terhadap stres menimbulkan beberapa perubahan – termasuk penurunan kognitif di kemudian hari.

“Perubahan tersebut dapat meningkatkan risiko demensia dan cedera otak vaskular, dua atau tiga dekade kemudian,” kata Dr. Sudha Seshadri, profesor ilmu penyakit saraf di UT Health San Antonio.

Baca Juga : Susu Kecoak Sebagai Minuman Energi di Masa Depan, Mungkinkah?

Studi ini melibatkan 2.200 orang dewasa dengan rata-rata usia 48 tahun yang berpartisipasi pada Framingham Heart Study. Masing-masing dari mereka harus mengikuti tes memori dan kemampuan berpikir di awal penelitian, lalu dilanjutkan kembali delapan tahun kemudian.

Mereka juga memberikan sampel darah, yang digunakan peneliti untuk mengetahui kadar kortisol, serta pindai MRI untuk mengukur volume otak.

Setelah menganalisis hasilnnya dan mengumpulkan informasi demografi dan kesehatan, para peneliti menemukan hubungan antara peningkatan kadar kortisol dengan penyusutan volume otak, juga rendahnya skor pada tes memori dan kognisi. Meski begitu, tidak ada partisipan dalam studi ini yang menunjukkan gejala demensia.

Baca Juga : Menolak Vaksin, Korban Jiwa Akibat Penyakit Campak Semakin Meningkat

Penelitian ini masih memiliki keterbatasan. Salah satunya, ia bersifat observasional. Artinya,  hanya melihat hubungannya saja tanpa bisa membuktikan sebab-akibat. Para peneliti juga hanya mengukur kadar kortisol selama periode studi. Partisipannya pun kebanyakan adalah warga kulit putih dan berasal dari area yang sama sehingga tidak bisa mewakili seluruh populasi AS.

Namun, Seshadri mengatakan, dengan adanya hubungan tersebut, kita setidaknya tahu bahwa stres berpengaruh pada perubahan otak.

“Kenyataan bahwa tingkat kortisol yang tinggi berkaitan dengan perubahan fungsi otak sangat mengkhawatirkan. Namun, sekaligus menjadi kesempatan untuk mencegahnya. Kita harus mengatasi stres agar kortisol berkurang,” paparnya.

Seshadri merekomendasikan kita untuk lebih rileks. Misalnya, dengan melakukan aktivitas yang mengurangi stres seperti meditasi, olahraga, yoga, tidur cukup dan mempertahankan kehidupan sosial yang kuat.