Desa Wisata Energi Migas Wonocolo, 'Texas' di Bumi Nusantara

By Gregorius Bhisma Adinaya, Rabu, 7 November 2018 | 12:09 WIB
Pemotor mengangkut minyak yang sudah disuling di tengah kawasan. (Bhisma Adinaya/National Geographic Indonesia)

Tidak hanya itu, besi tua, drum yang menghitam, tanah bercampur minyak, rangka dan kursi kayu yang sudah "hilang identitas" juga terlihat di sejumlah titik. Bagi sebagian orang, pemandangan ini terlihat mengerikan. Namun faktanya, sejak dibuka oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, kawasan wisata migas pertama di Indonesia ini tetap saja rutin dikunjungi oleh wisatawan dari dalam maupun luar negeri.

Mengembangkan dan menjaga kawasan

Pertamina melalui anak perusahaan Pertamina EP Asset 4 Cepu Field sejak tahun 2016 memulai pengembangan Geoheritage di Bojonegoro yang secara khusus mengangkat tentang petroleum system.

"Pertamina EP sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama di bawah pengawasan SKKMIGAS berkolaborasi dengan Dinas Pariwisata Bojonegoro mengelola Desa Wisata, sebagai Texas-nya Indonesia," ucap Cepu Field Manager, Afwan Daroni. Masih menurut Afwan, Geoheritage Wonocolo dapat memberikan kemajuan dan perlindungan terhadap kawasan yang dinilai sebagai warisan geologi ini.

Penambang minyak di Wonocolo. (Bhisma Adinaya/National Geographic Indonesia)

Afwan juga mengatakan bahwa langkah ini juga akan mendorong kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar. Sementara itu, sebagai langkah untuk menjaga lingkungan sekitar, Pertamina EP melalui program CSR juga melakukan kegiatan penghijauan.

“Tambang minyak Wonocolo ini sudah lebih dari 100 tahun dan produksi migasnya terus menurun. Tapi dengan desa wisata yang dilengkapi dengan program lingkungan ini warga Wonocolo akan menggerakkan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraannya,” ungkap Afwan.

Baca Juga : Ma'nene, Ritual Mengganti Pakaian Mayat Nenek Moyang di Toraja

Minyak yang dihasilkan di Wonocolo hanya mencapai 100 barel per hari. Memang bukan jumlah yang banyak dalam pasar minyak bumi, namun jumlah ini memiliki nilai tersendiri bagi para penambang.

Karena minyak ini adalah milik negara, maka penambang tidak diperbolehkan untuk menjual minyak yang dihasilkan. Namun sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2008 tentang "Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua", sebagai partisipan, mereka akan mendapatkan bayaran dalam proses pengiriman kepada koperasi. Istilahnya adalah "Ongkos Angkat Angkut", dengan besaran Rp4.700 per liter.

Nasi gulung, bekal para penambang. (Bhisma Adinaya/National Geographic Indonesia)

Kembali kepada konteks wisata, ketika sudah lelah berkeliling dan memotret, Anda dapat melanjutkan perjalanan dengan sedikit mendaki menuju puncak kawasan. Pada area ini terdapat beberapa kios yang menjual makanan dan minuman. Salah satu makanan khas yang dijual di sini adalah nasi gulung. "Iya, ini tadinya bekal yang biasa dibawa mereka (penambang minyak) kalau kerja. Digulung pakai daun berlapis-lapis supaya awet, gak basi," ucap seorang penjual di sana.

Baca Juga : Awan Kordylewski, Satelit Debu yang Mengorbit Bumi Seperti Bulan

Nasi gulung sendiri sebenarnya seperti lontong dengan isi yang dilengkapi dengan sambal. Sementara itu daun yang digunakan untuk menggulung juga memberikan aroma tersendiri, yang tentu dapat membangkitkan rasa lapar Anda.

Bagi Anda yang tidak tertarik dengan fotografi, kegiatan lain seperti jeep adventure, bersepeda, berkemah, kegiatan mancakrida (outbound), ataupun downhill, dapat dilakukan dalam kawasan ini.