Nationalgeographic.co.id - Air memegang peranan penting dalam kehidupan manusia dan mahluk hidup lainya di Bumi. Tidak hanya untuk minum, berbagai budaya di dunia pun menggunakan air sebagai bagian dari identitas mereka. Salah satunya adalah bagi masyarakat Hindu Bali. Hampir seluruh upacara dalam masyarakat Hindu Bali tidak lengkap tanpa adanya air atau yang biasa disebut dengan tirta. Bahkan hal ini membuat Hindu Bali identik dengan sebutan Agama Tirta (air).
Selama berabad-abad Bali menjaga keseimbangan antara manusia dan alamnya, terutama sejak diperkenalkannya sistem irigasi subak pada abad ke-9. Selama beberapa dekade terakhir, pertumbuhan populasi, migrasi, pariwisata, dan modernisasi yang berkembang cepat telah mengganggu keseimbangan yang menyebabkan krisis air. Akibatnya, permukaan air di Bali semakin lama semakin berkurang.
Baca Juga : Penjelasan NASA Soal Potongan Es di Antartika yang Berbentuk Persegi
Tidak bisa dimungkiri bahwa Bali saat ini berurusan dengan beberapa masalah lingkungan yang sangat menantang. Pembangunan kota yang cepat, pariwisata, infrastruktur yang tidak memadai dan sistem manajemen limbah kuno adalah faktor-faktor yang berkontribusi. Namun demikian, beberapa orang-orang di Bali bergerak dan menemukan solusi yang layak, terjangkau, dan menguntungkan secara ekonomi untuk masalah krisis air ini.
Sejalan dengan permasalahan ini, salah satu perusahaan di Bali yang melakukan praktik bisnis berkelanjutan mengenai permasalahan ini adalah Waterbom Bali. Menjaga keseimbangan air merupakan tuntutan wajib yang dilakukan oleh CEO Waterbom, Sayan Gulino, mengingat Waterbom Bali memang menjadikan air sebagai inti usaha mereka.
Sebagai waterpark, Sayan sepenuhnya mengakui bahwa bisnis yang ia jalankan adalah bisnis dengan penggunaan air yang sangat signifikan. Oleh karena itu pihaknya merasa harus bertanggung jawab atas pelestarian air Bali dengan serius.
"Menjaga keseimbangan air adalah tentang kewajiban dasar manusia untuk mencapai keseimbangan di lingkungan kita. Dengan berfokus pada penderitaan Bali, kami membuat film dokumenter tentang 'Balancing Water', film ini menyajikan kepada kita keadaan terkini tentang air di dunia modern kita dan apa yang dapat kita lakukan untuk mengubah situasi yang berpotensi menjadi bencana ini," ujar Sayan Gulino.
Baca Juga : Mirip Alien, Suku Mangbetu Mengubah Kepala Mereka Menjadi Memanjang
Sayan menambahkan, berkolaborasi dengan berbagai pihak juga menjadi hal yang penting. Oleh karena itu Waterbom Bali mengajak beberapa orang untuk terlibat dalam pembuatan film dokumenter ini. "Orang orang yang kami sebut sebagai Eco Warriors (pejuang lingkungan) ini, mengabdikan hidupnya untuk bekerja dengan komunitas lokal dan lembaga negara untuk melakukan langkah nyata dan mengidentifikasi masalah yang terjadi di Bali. Mereka juga mencari solusi bersama masyarakat lewat teknologi modern dan praktik tradisional yang dapat menigkatkan kesejahteraan lingkungan dan masyarakat sekitarnya," tambah Sayan.
Eco warriors pertama, Sean Nino Lotze, Co-Founder of Mantra menerangkan bahwa sangat memungkinkan bagi perusahaan besar untuk mengurangi limbah, menurunkan emisi mereka, dan mengurangi konsumsi sumber daya dengan cara yang terukur. Setiap fasilitas dapat mengurangi limbah menuju TPA sebesar 90%, secara drastis mengurangi gas rumah kaca, dan menghasilkan aliran pendapatan baru untuk seluruh desa.
Pejuang lingkungan kedua adalah Arief Rabik, spesialis bambu yang memiliki misi untuk menciptakan solusi berkelanjutan menggunakan bambu. Putra almarhum Linda Garland ini memanfaatkan pengetahuan kumulatif yang diteruskan dari orang tuanya dan lusinan ilmuwan yang telah membimbingnya untuk mendirikan 1.000 Program Desa Bambu. Program ini bertujuan untuk merebut kembali lahan terdegradasi dengan menciptakan sistem wanatani berbasis bambu.
Baca Juga : Untuk Kesekian Kalinya, Potongan Plastik Ditemukan di Tubuh Hewan Laut
Model uniknya telah diadaptasi oleh pemerintah, yang juga berjanji untuk mendukung program dan memperluasnya. Program Rabik pada akhirnya bertujuan untuk memberdayakan masyarakat untuk membuat bambu menjadi layak secara ekonomi dan menyita karbon positif.
Status "kesakralan" air terjalin erat dalam filsafat kosmologis Tri Hita Karana, yang menjunjung nilai harmoni dan keseimbangan. Tri berarti tiga, Hita berarti kemakmuran, dan Karana berarti alasan atau sebab.
Nilai-nilai Tri Hita Karana kemudian diusulkan oleh Indonesia untuk ekonomi APEC. Bahkan nilai-nilai ini digunakan sebagai pedoman untuk pembangunan berkelanjutan dalam kelompok yang memiliki ragam budaya. Menjaga keseimbangan air adalah tentang kewajiban dasar manusia untuk mencapai keseimbangan di lingkungan kita.