Empat Situs Peninggalan Belanda yang Tersembunyi di Jatinegara

By Tiara Syabanira Dewantari, Rabu, 14 November 2018 | 14:05 WIB
Suasana jalanan di Meester Cornelis, Batavia, sekitar 1900-1940. Kini, seputaran Jatinegara. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

Nationalgeographic.co.id - Masa penjajahan Belanda merupakan salah satu bagian terpenting yang tercatat di buku sejarah negara Indonesia. Selama 350 tahun menetap, Belanda telah memberikan banyak pengaruh terhadap politik, ekonomi, juga sosial budaya Indonesia. Kepergiannya pada tahun 1942 meninggalkan jejak cerita di setiap sudut ibu kota.

Selain di Kota Tua, banyak situs bersejarah menyangkut peradaban selama masa kolonial. Salah satunya yaitu daerah Meester Cornelis atau yang kini dikenal dengan Jatinegara. Nama Meester Cornelis berasal dari nama seorang guru agama Kristen, yaitu Cornelis Senen. Ia adalah seorang pria asal Pulau Lontor, Banda, Maluku. Cornelis telah menetap di Batavia sejak tahun 1621. Menurut cerita, rencana dari kedatangannya pada saat itu adalah untuk menjadi pendeta, tetapo Belanda menolaknya.

Tanpa kita sadari, terdapat beberapa tempat di wilayah Jatinegara ini yang menyimpan cerita dari masa penjajahan Belanda. Bahkan beberapa tempat disini masih aktif digunakan oleh masyarakat sekitar hingga sekarang.

Lapas Cipinang

Tempat ini merupakan rutan yang paling banyak dihuni pada masa kolonial Belanda. Lapas Cipinang berada di wilayah yang dulu dikenal sebagai Tjipinang. Dahulu, tempat ini didirikan untuk menampung tahanan dari rutan Glodok karena populasinya yang telah memenuhi kapasitas. Lapas Cipinang dahulu cukup besar dan segar, karena dibangun di wilayah persawahan yang jauh dari pemukiman warga.

Di masa kolonial Belanda, rutan ini seperti neraka. Para tahanan dipaksa bekerja dan dipasang rantai. Banyak tahanan yang berusaha kabur karena hal ini. Melihat hal itu, sistem rantai dan kerja paksa dihapus pada  1918. Untuk sesaat, keadaan di rutan ini membaik.

Baca Juga : Sejarah Kota Pontianak, Apakah Benar Berhubungan dengan Kuntilanak?

Namun, hal serupa kembali terjadi pada saat Indonesia dijajah Jepang. Para tahanan kembali dipekerjakan secara paksa untuk membuat perlengkapan perlengkapan perang dan alat kedokteran. Menurut data Direktorat Jendral Permasyarakatan, kerja paksa yang tak setara dengan perlindungan tersebut menewaskan sekitar 25 tahanan setiap harinya pada tahun 1944.

Keadilan terhadap tahanan di rutan baru dirasakan sepenuhnya setelah kemerdekaan Indonesia. Para tahanan kini diberikan kesempatan untuk memperbaiki dirinya dengan berbagai kegiatan. 

Hingga saat ini, Lapas Cipinang masih aktif digunakan sebagai rutan. “Penjara ini masih banyak penghuninya, bahkan melebihi kapasitas yang ada,” ujar dr. Zeffry Alkatiri, seorang dosen FIB UI.

Namun, sayangnya, tempat ini telah kehilangan sebagian besar peninggalan Belanda. Hanya tersisa bangunan menara air yang terletak di dalam penjara. “Kebanyakan situs-situs seperti penjara di berbagai kota di Indonesia itu tidak diperhatikan, sehingga kemudian terbengkalai bahkan digantikan dengan gedung baru,” cerita Zeffry.

Museum Taman Benyamin Sueb       

Sebelum diresmikan sebagai Museum Taman Benyamin Sueb pada September 2018, gedung ini merupakan Eks Kodim 0505. Berlokasi diseberang stasiun Jatinegara, gedung ini pernah menjadi kediaman pangreh praja pada pertengahan abad ke-19.

Semenjak diambil alih oleh pemerintah daerah, bangunan tua ini sudah mengalami banyak renovasi. Bahkan, beberapa bangunan baru sudah ada di halaman belakang gedung.

“Awalnya gedung ini berada di tangan militer sehingga tidak terurus. Namun semenjak diambil alih oleh Pemda, kondisinya menjadi lebih baik,” tutur Zeffry.

Gedung Eks Kodim 0505 ini telah menjadi museum penyimpanan koleksi Benyamin Sueb, dan rencananya akan dikembangkan lagi menjadi pusat pelestarian budaya Betawi. Masih banyak koleksi yang belum dipajang dalam museum ini dengan alasan keamanan. Beberapa hanya ditampilkan pada waktu tertentu saja.

Pasar Jatinegara

Mester Passer adalah nama yang sebelumnya diberikan kepada Pasar Jatinegara. Nama yang diberikan untuk pasar ini beragam, mulai dari Pasar Mester hingga Pasar Kamis karena dulu hanya buka pada hari Kamis.

Jika berjalan menelusuri pasar ini, kita masih bisa melihat beberapa bangunan yang memiliki atap asli bergaya Belanda--meskipun sudah banyak yang mengalami perubahan. Beberapa bangunan juga sudah dihilangkan untuk kepentingan jalan.

Baca Juga : Sempat Menjadi Sajian Mewah, Begini Sejarah Es Batu di Indonesia

“Tempat ini sudah tidak dimanfaatkan lagi sebagai rumah untuk ditinggali, melainkan hanya untuk kepentingan berdagang saja,” terang Zeffry sembari berjalan memperlihatkan masing-masing toko yang ada di pasar ini.

Di dalam pasar Jatinegara juga terdapat Klenteng yang sudah ada sejak 330 tahun lalu, yaitu Klenteng Amurva Bhumi. Klenteng ini telah direnovasi sehingga tidak terlihat bagaimana bentuk lamanya. Berdasarkan cerita yang beredar, klenteng ini dibangun demi kepentingan warga sekitar--yang merupakan mayoritas Cina--untuk beribadah.

Kompleks Perumahan Urip Sumoharjo

Jika anda ingin mengetahui bagaimana bentuk arsitek dari rumah bergaya Indisch, datang ke Kompleks Perumahan Urip Sumoharjo adalah hal yang tempat. Permukiman yang dulu bernama Generaal Staallaan ini menyimpan rumah-rumah yang telah ada sejak awal abad ke-20. Dulunya, kawasan tersebut hanya dihuni oleh perwira tinggi Belanda atau mereka yang berjasa bagi negara.

Urip Sumoharjo sendiri adalah seorang Kepala Staf Umum TKR pertama pada tahun 1945, dan menjadi Wakil Komandan pada tahun 1947. Dulu, ia menempati rumah dinas di Generaal Staallaan nomor 17. Kini rumah tersebut telah menjadi sekolah karate.

Menyusuri gang kecil, perumahan yang terletak di tengah kota ini sangat sejuk karena dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Namun sangat disayangkan, beberapa rumah telah kehilangan bentuk aslinya. Hal ini dikarenakan perumahan ini berada di lingkup kantor TNI Angkatan Darat sehingga telah diambil alih pengurusannya oleh pihak militer, “padahal ini juga bagian dari situs peninggalan Belanda,” ungkap Zeffery.