Nationalgeographic.co.id – Kemajuan teknologi dan berkembangnya model pakaian jadi yang semakin modern membuat industri batik semakin meredup. Hal ini pun mengancam keberlangsungan hidup para pengrajin.
Saat ini, jumlah pembuat alat membatik, canting tulis, tinggal hitungan jari. Pembuat canting cap dan ‘malam’ (lilin yang digunakan untuk membatik) juga semakin sedikit. Kondisi ini semakin parah karena tidak adanya ketertarikan generasi muda untuk meneruskan kepandaian membuat alat membatik seperti para pendahulunya.
Melihat hal ini, The Culture Heritage of Indonesia (CHI) Award 2018, memberikan penghargaan kepada para pengrajin batik yang masih ada hingga saat ini. Menurut CHI, mereka adalah pahlawan warisan budaya Indonesia dan kerja kerasnya patut diapresiasi.
Baca Juga : Denyut Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah di Desa Pekandangan Indramayu
Seperti yang kita tahu, dari awal hingga selesai, proses batik merupakan pekerjaan tangan yang penuh cita rasa seni dan keteguhan hati. Begitu pula saat menciptakan peralatan untuk membatik. Keterampilan tangan dan keteguhan hati seperti itu tidak dimiliki semua orang.
The Culture Heritage of Indonesia (CHI) merupakan salah satu dari tiga divisi Yayasan Al-Mar. Yayasan yang sudah berdiri sejak 2009 ini memiliki perhatian pada kelangsungan warisan budaya Indonesia.
CHI Heritage memiliki tujuan untuk turut berperan dalam melestarikan dan mengembangkan warisan budaya Indonesia. Kepedulian ini dituangkan dalam bentuk pemberian penghargaan kepada para pahlawan warisan budaya Indonesia.
Dan untuk yang pertama kali, CHI Award 2018 diberikan kepada para pejuang di balik bertahannya industri Batik.
Ada empat kategori dalam pengharagaan ini: yaitu Pelestari, Penerus, Inovator, dan Penghargaan Khusus (Legacy).
Yang termasuk dalam Kategori Pelestari antara lain: pengrajin yang merupakan warga negara Indonesia tanpa batasan usia, gender, dan agama, yang melestarikan warisan budaya Indonesia “batik” dengan karakter dan ciri yang khas. Masih aktif bekerja atau mengelola studio penghasil kerajinan atau melakukan kegiatan berbasis budaya.
Kriteria untuk Kategori Penerus meliputi: pengrajin yang merupakan warga negara Indonesia tanpa batasan usia, gender, dan agama, yang melanjutkan usaha batik yang diturunkan dan memberi efek signifikan pada kelangsungan sebuah budaya dan usahanya; masih aktif bekerja atau mengelola studio penghasil kerajinan atau melakukan kegiatan berbasis budaya, dan; sukses membina atau aktif dalam komunitas tertentu yang berlandaskan budaya Indonesia.
Baca Juga : Día de los Muertos, Perayaan Menyambut Arwah yang Berkunjung ke Alam Kehidupan
Sementara Kategori Inovator, kriterianya antara lain; pengrajin atau sosok warga negara Indonesia yang melahirkan teknik baru untuk proses pembuatan batik. Membangun usaha sendiri yang memberi efek signifikan pada keberlangsungan dan pengembangan sebuah budaya, menginspirasi orang di sekitarnya, dan karyanya dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Juga masikh aktif bekerja atau mengelola studio penghasil kerajinan atau melakukan kegiatan berbasis budaya.
Kemudian, untuk Kategori Penghargaan Khusus akan diberikan kepada Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro. Ia adalah orang yang mendapat tugas dari Presiden Soekarno untuk membuat Batik Indonesia. Seperti diungkap dalam Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro (2008), Batik Indonesia yang dibuat Go Tik Swan pada dasarnya merupakan hasil perkawinan batik klasik keraton—terutama gaya batik Surakarta dan Yogyakarta—dengan batik gaya pesisir utara Jawa Tengah, terutama Pekalongan.
CHI Award 2018 diselenggarakan untuk pertama kalinya bertepatan dengan Hari Pahlawan, 10 November 2018, di Plaza Indonesia, Jakarta. Selain pemberian penghargaan, pada rangkaian acara ini juga terdapat pameran batik karya para pengrajin.
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR