Nationalgeographic.co.id - Kunjungan ke Desa Bengkala yang dikenal dengan komunitas tuli-bisunya, adalah sebuah pengalaman yang membuka mata. Kita bisa belajar tentang bagaimana cara mengisi hidup dengan lebih optimistis dan bersemangat, meskipun kita memiliki kekurangan. Kita bisa belajar bahwa kreativitas seseorang tidak bergantung pada kesempurnaan fisik. Inilah yang ditampilkan oleh masyarakat di Bengkala, terutama mereka yang kolok.
Kolok dalam bahasa Bali berarti “tuli-bisu”. Dan, Desa Bengkala selama ini dikenal dengan sebutan Desa Kolok. Terhitung dari total 3.000-an orang Bengkala, sekitar 48-nya terlahir kolok. Uniknya, tidak akan kita temukan diskriminasi dari orang normal terhadap orang kolok di sini. Mereka saling menghargai. Saking menghargainya, masyarakat normal belajar bahasa isyarat kolok agar dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat kolok. Kini, sekitar 80% masyarakat Bengkala bisa berbahasa isyarat kolok.
Baca Juga : Cegah Kanker Payudara dengan 5 Hal Berikut Ini
Lingkungan yang suportif ini membuat masyarakat kolok Bengkala bersemangat untuk bekerja dan berkarya. Berkat dibangunnya Kawasan Ekonomi Masyarakat (KEM) Kolok Bengkala gagasan PT Pertamina (Persero) DPPU Ngurah Rai dan FlipMas Ngayah Bali pada 2015, masyarakat kolok terutama menemukan jalan untuk dapat berkembang dan berdaya. Dalam bidang ekonomi, program pemberdayaan yang dilakukan adalah pelatihan tenun dan batik lukis. Kenapa tenun dan kenapa batik lukis?
“Dulu sekali, ternyata baru ketahuan kalau leluhur masyarakat Bengkala itu adalah penenun. Ada peninggalan mesin tenun tua yang kita temukan di desa. Cuma entah kenapa sekarang masyarakat lokal tidak lagi menenun,” cerita Putu Suwardika, Divisi Penelitian dan Pengembangan FLipMas dan Ketua KEM Kolok, yang kami ajak berbincang di KEM.
Pelatihan tenun pertama dilakukan pada 2014, sebelum infrastruktur KEM Kolok Bengkala selesai. Kini, area KEM sudah dilengkapi dengan bangunan-bangunan pendukung, yaitu 2 unit rumah kolok, dua unit gazebo kecil, satu unit gazebo utama atau disebut wantilan, dua unit rumah tenun, satu unit dapur, satu unit toilet, serta kandang-kandang hewan ternak.
“Tahun 2014, pertama kalinya pelatihan dilakukan. Waktu itu, banyak pelatihan sekaligus dilakukan. Ada pelatihan bikin jajan, kue-kue, jamu, dan tenun. Kelompok tenun ada enam orang, karena mesinnya juga ada enam. Pelatih tenun didatangkan dari desa sebelah yang tidak jauh dari Bengkala, seperti Desa Sinabun atau Jinengdalem,” cerita Kadek Sri Sami (50 tahun), perempuan tidak kolok yang menikah dengan orang kolok pemilik lahan tempat KEM dibangun, bernama I Wayan Ngarda.
Baca Juga : Kisah Para Pengidap HIV/AIDS di Pantura Melawan Stigma Buruk Mayarakat
Kini, para penenun itu memiliki ruang sendiri di KEM supaya dapat menenun dengan tenang. Yaitu, dua unit bangunan sederhana yang berisi mesin-mesin tenun dari PT Pertamina (Persero).
“Sekarang, sudah ada empat orang yang ikut pelatihan magang dan bisa jadi pelatih tenun nantinya, seperti Budewati dan Komang Handayani, menantu Mbok Sami,” kata Putu Suwardika, Divisi Penelitian dan Pengembangan FLipMas Ngayah Bali.
“Dengan adanya pelatihan dan produksi tenun yang berpusat di KEM Kolok Bengkala ini, akhirnya dapat terus menularkan penenun-penenun baru. Sehingga, nantinya masyarakat kolok ataupun tidak kolok di Bengkala bisa memiliki pendapatan dari tenun,” ucap Ajar Darmawan, Spv. HSSE DPPU Ngurah Rai.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR