Pembuatan sehelai kain tenun bisa diselesaikan dalam waktu 2-3 hari jika dilakukan tanpa jeda, atau sekitar 6 hari jika diselingi dengan pekerjaan lain. Harga jual sehelai kain seukuran sarung sekitar Rp350.000. Para penenun mendapat upah dari satu helai kain—bukan berdasarkan hari kerja—sekitar Rp100.000.
Hingga kini, motif-motif pada tenun Bengkala masih dalam proses pengembangan. Ada motif-motif lama, ada juga motif-motif baru, seperti motif kuda laut (mencerminkan PT Pertamina (Persero)), motif kristal, sampai motif kunyit.
Sementara, untuk batik Bengkala, semua masih dalam tahap inisiasi. Pihak FlipMas Ngayah Bali membantu dengan intens dalam hal memperkenalkan teknologi pembuatan batik lukis kepada masyarakat Bengkala, baik kolok ataupun tidak kolok. Masyarakat lokal pada dasarnya tidak mengenal tradisi membatik. Membatik adalah salah satu seni rupa yang selama ini kita kenal berasal dari Sumatra dan Jawa.
“Kenapa akhirnya kami memperkenalkan batik lukis—bukan batik tulis—kepada masyarakat Bengkala ini, nantinya diharapkan mereka yang tidak punya bakat atau tidak suka menenun, mungkin tertarik untuk membatik,” kata I Wayan Karyasa dari FlipMas Ngayah Bali Divisi Pendidikan.
Batik lukis ini dibuat melalui langkah-langkah yang tidak terlalu serumit batik tulis Jawa atau Sumatra. Untuk batik lukis, awalnya, kita membuat sketsa motif pada kain katun prima. Sketsa tersebut kemudian dicanting dengan malam, dan dari sana, kita warnai motif dengan pewarna batik bernama indogosol. Setelah diwarnai, kain direbus untuk menghilangkan lilinnya, seperti ngelorod tetapi versi lebih sederhana. Proses pembuatannya jadi lebih cepat dari batik tulis biasanya. Sehari bisa selesai jika digarap oleh beberapa orang sekaligus.
“Sejauh ini, anak-anak kolok masih didampingi oleh tutor dari Universitas Pendidikan Ganesha, mahasiswa dari jurusan saya, Prodi Kimia. Mereka yang ikut membuat batik biasanya mendapat upah Rp60.000/ hari kerja,” tambah I Wayan Karyasa.
Batik lukis ini adalah bagian dari program edukasi untuk masyarakat kolok di Bengkala, yaitu keaksaraan fungsional. Program ini mengajarkan masyarakat kolok belajar calistung, ilmu sains, dan ilmu sosial melalui kegiatan sehari-hari, yang sekaligus melatih life skill supaya mereka bisa belajar mendapatkan mata pencarian. Di luar membatik, keaksaraan fungsional juga mengajarkan memasak, membuat canang atau sesajen (mejejahitan), membuat keripik dari hasil bumi Bengkala, dan nantinya akan ada membuat dupa dan menyulam.
“Harapannya nanti masyarakat kolok terutama bisa menghidupi diri sendiri, mulai berusaha, dan pulang ke rumah masing-masing membentuk koloni-koloni untuk membuat batik, keripik, canang, atau dupa sendiri di rumah lalu dijual,” ucap I Wayan Karyasa.
Baca Juga : Jatuh Cinta dan Penjelasan Ilmiah di Belakangnya
I Ketut Kanta, seorang tokoh masyarakat Bengkala yang aktif terlibat dalam KEM Kolok Bengkala, mengatakan, “Setelah Pertamina masuk, ada pemberdayaan dalam masyarakat. Saya melihat sendiri karena mendampingi masyarakat kolok di KEM. Yang dulu mereka pendiam, sekarang lebih terbuka. Yang dulu tidak mengenal tenun dan batik, sekarang kenal.”
Hasil tenun dan batik lukis karya masyarakat kolok kini bisa dilihat atau dibeli di Kawasan Ekonomi Masyarakat (KEM) Kolok Bengkala.
Penulis: Astri Apriyani
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR