Nationalgeographic.co.id - Dalam beberapa tahun terakhir, Arktika menghadapi suhu ekstrem yang membuat tanaman-tanaman di sekitarnya mati. Para ilmuwan menyebut peristiwa ini sebagai dieback--yaitu kondisi di mana tanaman mulai mati dari ujung daun atau akarnya. Akibatnya, di Arktika terjadi proses 'pencokelatan' (Arctic browning).
"Arctic browning merupakan penurunan biomassa atau produktivitas di wilayah Arktika. Peristiwa ekstrem yang terkait dengan cuaca--seperti periode kehangatan yang mendadak--adalah salah satu penyebab utama Arktika menjadi cokelat," papar Rachael Treharne, dari Department of Animal and Plant Sciences di University of Sheffield.
Ia menambahkan, kerusakan pada tanaman-tanaman ini jadi lebih sering terjadi akibat perubahan iklim yang terjadi sangat cepat di Arktika. Bahkan, dua kali lebih cepat dari rata-rata global.
Hal yang sama juga disampaikan oleh studi di Global Change Biology: Arctic browning ini sangat berpengaruh pada faktor perubahan iklim. Apakah prosesnya akan melambat atau berakselerasi di masa depan sejalan dengan keparahan perubahan iklim.
Baca Juga : Populasi Burung Pantai Semakin Berkurang, Apakah Manusia Penyebabnya?
Para peneliti dari University of Sheffield menemukan bahwa matinya tanaman-tanaman ini secara signifikan mengurangi kemampuan ekosistem Arktika untuk menangani dampak perubahan iklim.
"Hasilnya menunjukkan bahwa pencokelatan Arktika mengurangi kemampuan ekosistem di sana untuk mengambil karbon. Artinya, mereka semakin sulit menghadapi perubahan iklim," kata Treharne.
Untuk mendapatkan kesimpulan tersebut, para ilmuwan meneliti padang rumput di Kepulauan Lofoten, wilayah Arktika Norwegia. Mereka menemukan fakta bahwa area tersebut telah dipengaruhi oleh dua peristiwa iklim yang ekstrem. Yang pertama, menyebabkan kematian pada sebagian besar vegetasi hijau. Sementara peristiwa kedua menghasilkan 'respons stres' yang ekstensif.
"Secara lebih detail, penyerapan CO2--yang menjadi ukuran utama keseimbangan karbon ekosistem--berkurang 48% pada area vegetasi yang didominasi oleh kematian. Dan 50% tanaman di dalamnya mengalami stres," jelas Treharne.
"Ini menunjukkan bahwa peristiwa ekstrem dapat memiliki dampak besar bagi keseimbangan ekosistem CO2, meskipun vegetasi belum sepenuhnya mati," imbuhnya.
Baca Juga : Kotoran Telinga Paus Buktikan Bahwa Manusia Sebabkan Stres pada Paus
Langkah selanjutnya, peneliti berencana melakukan studi lebih lanjut dan mengembangkan metode yang bisa mencakup seluruh Arktika. Ini dilakukan untuk memahami peran yang dimainkan peristiwa ekstrem pada proses pencokelatan Arktika.
"Tidak mungkin untuk mengabaikan dampak perubahan iklim di Arktika. Ini memiliki konsekuensi besar bagi ekosistem dan komunitas lokal. Kita perlu rencana ambisius untuk membatasi emisi sehingga meminimalkan pemanasan di Arktika dan seluruh dunia," pungkas Treharne.
Source | : | Newsweek |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR