Nationalgeographic.co.id – Menurut riset terbaru dari Sustainable Waste Indonesia (SWI), sekitar 24% sampah di Indonesia masih belum bisa dikekola dengan baik. Jarang sekali yang berusaha melakukan daur ulang. Alhasil, kebanyakan dari mereka berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Warga desa Doudo, Kecamatan Panceng, Gresik, Jawa Timur, juga menyadari hal ini. Sampah-sampah yang tidak dikelola dengan baik, akhirnya menumpuk dan membuat lingkungan sekitarnya menjadi kumuh. Mereka pun akhirnya tergerak untuk membuat Bank Sampah dengan tujuan ingin memanfaatkan sampah agar menjadi sesuatu yang memiliki nilai ekonomis.
Baca Juga : Kampung Sayur Hingga Aloe Vera, Uniknya Cara Warga Doudo Manfaatkan Pekarangan Rumah
Proses pengumpulan sampah di desa Doudo tidak terlalu sulit. Sebab, setiap rumah di semua RT sudah memiliki dua tempat sampah. Satu tong untuk sampah organik dan yang lainnya untuk anorganik. Sampah organik wajib ditempatkan di lubang biopori untuk kemudian dibuat sebagai pupuk. Sementara yang anorganik akan dikumpulkan oleh petugas Bank Sampah Harapan seminggu sekali.
“Kami biasanya mengelilingi desa dengan sepeda motor bak terbuka untuk mengumpulkan sampah-sampah warga,” kata Muhammad Sueb, anggota Bank Sampah Harapan.
Tabungan dan sedekah
Sueb bercerita, sebelum diangkut ke gudang, sampah-sampah yang biasanya berupa botol plastik, kardus, koran, besi dan aluminium tersebut ditimbang terlebih dahulu. Hasil timbangan kemudian dimasukkan ke buku rekening Bank Sampah dan dikonversikan ke rupiah sebagai tabungan.
‘Nilai’ sampah ini bermacam-macam. Untuk kardus misalnya, dibandrol dengan Rp1000/kilogram. Sementara gelas plastik dihargai Rp1500/kilogram.
Saat ini, hampir semua warga Doudo sudah menjadi nasabah di Bank Sampah Harapan. Totalnya ada 220 orang—termasuk Zakiyatul Izzah.
Meski tidak rutin menyetor setiap minggu, tetapi jika ada sampah di rumahnya, Izzah pasti selalu memberikannya kepada Bank Sampah Harapan.
Dalam setahun, tabungannya mencapai Rp150 ribu dan akan Izzah cairkan pada Hari Raya Idulfitri. “Lumayan untuk masak sama beli baju,” ujarnya.
Sueb menambahkan, warga Doudo memang biasanya mendapat Rp150 ribu hingga Rp300 ribu dari hasil ‘menabung’ sampah. Namun, ini hanya untuk sampah rumah tangga. Bagi warga yang memiliki usaha toko kelontong, mereka bisa mendapatkan hingga Rp1,5 juta karena menyetor sampah kardus yang cukup banyak.
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR