Nationalgeographic.co.id - Pulau Penyengat memiliki banyak sekali warisan budaya Melayu. Pulau ini kaya akan warisan benda maupun nonbenda. Pulau dengan luas tak lebih dari 2 km persegi di perbatasan Indonesia-Singapura ini telah menyandang status kawasan Cagar Budaya Nasional sejak April 2018 dengan jumlah situs Cagar Budaya sebanyak 46 buah.
Warisan budaya tak benda pun terbilang sangat banyak, beberapa yang terkenal di antaranya adalah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji, peletak dasar-dasar tata bahasa Melayu – Bahasa Indonesia; naskah-naskah Melayu Islam, tradisi perayaan hari raya Islam di Pulau Penyengat; pengetahuan lokal seperti pembuatan baju kurung, tanjak, hantaran, menganyam, kapal pompong; seni tradisi seperti tari zapin Penyengat, boria, gazal, orkes Melayu, kesenian kompang, dan wayang cecak.
Wayang cecak? Kerut kening saya bertambah saat pertama kali mendengar nama wayang cecak.
Baca Juga : Maximón, Santo Perokok dan Peminum Alkohol yang Dihormati di Guatemala
Angin pantai menyejukkan siang nan panas di Rumah Baca Pulau Penyengat yang terletak di komplek Balai Adat Pulau Penyengat. Rumah Baca ini baru saja berdiri atas inisiasi Alfi Rizwan (24) yang juga dalang Wayang Cecak dan kawan-kawan mudanya, dibantu oleh seorang pakar kuliner dan pariwisata Kementerian Pariwisata, Tendi Nuralam.
Mereka menggagas rumah baca sebagai tempat kegiatan literasi anak muda di Pulau Penyengat. Siang itu saya melihat Alfi dan rekannya mempersiapkan panggung dan peralatan musik. Saya menyaksikan pertunjukan Wayang Cecak bersama beberapa anak kecil dan beberapa rekan-rekan fotografer muda Tanjungpinang.
Tiga orang seniman penjaga tradisi Wayang Cecak beraksi. Azmi Mahmud (46) mulai menggesek biolanya, Zulfianda (29) mulai menabuh gendangnya, dan Alfi Rizwan mulai menggerakan dua buah boneka dari belakang layar panggung kotak itu. Saya seperti melihat pertunjukan Wayang Potehi!
Saya menyimak permainan siang menjelang sore itu. Walau hanya 10 menit, pertunjukan itu sangat memukau. Alunan musik biola dan gendang yang mengiringi Alfi mendalang sangat syahdu. Bagi saya, alunan musik Melayu yang lembut sore itu sangat menyentuh hati, damai dan membuat saya menjadi agak melankolis.
Mereka membawakan lakon “Syair Siti Zubaidah”.
“Syair ini berkisah tentang seorang wanita yang menyamar sebagai seorang lelaki dan menaklukkan negeri Tiongkok untuk menyelamatkan suaminya,” ujar sang dalang.
Usai pertunjukan, saya tak kuasa menahan diri untuk tidak mencecar Azmi Mahmud dengan aneka pertanyaan yang telah mangganggu saya sejak pertama kali menyaksikan pertunjukan Wayang Cecak.
Sambil mengelus biolanya, Azmi, pemenang anugerah Penata Musik Tradisi terbaik tingkat Nasional 2016 dan 2017 itu mulai berkisah tentang asal mulai ia dan rekan-rekan muda seniman Pulau Penyengat merevitalisasi Wayang Cecak. Ia mengawali revitalisasi pertunjukan wayang cecak pada tahun 2017 dengan gagasan dari seorang peneliti di Pusat Bahasa Jakarta, Muzizah.
Baca Juga : Enam Wisata Budaya yang Bisa Anda Lakukan Saat Imlek
“Ibu Muzizah melakukan penelitian tentang Wayang Cecak. Beliau menggagas revitalisasi itu. Sebelum itu, saya sudah banyak mencari informasi dan fakta tentang wayang ini. Saya tidak ingin berandai-andai lalu salah mengenai itu,” ujar Azmi yang mengaku sulit mencari informasi tentang Wayang Cecak.
“Budayawan-budayawan di Kepulauan Riau pun tak ada yang pernah melihat, sudah lama. Saya bertanya banyak pada Pak Raja Malik, sepupu saya, dan tokoh-tokoh, juga pada orang tua saya sendiri. Kalau tidak memainkan sesuai aturan saya takut membohongi sejarah,” terang Azmi yang masih mencari bentuk asli patung atau boneka Wayang Cecak.
Menurut Azmi, awalnya Wayang Cecak digagas dan dimainkan oleh Khadijah Terung, seorang seniman wanita pada masa Kesultanan Melayu yang menimba ilmu kebatinan tinggi. Ilmu ghaib menurut Azmi. Khadijah diduga memainkan pertunjukan ini secara tertutup untuk kalangan terbatas saja, sehingga informasi tentang Wayang Cecak ini tak banyak tersebar luas.
“Jampi serapah beliau katanya sangat manjur. Sehingga membuat penontonnya terperangah. Setiap penampilannya menghibur anak-anak kalangan bangsawan dan anak-anak Cines (Tionghoa) di Senggarang, tertutup tidak untuk khalayak ramai. Itu menurut cerita yang saya dapat,” ujar Azmi sambil menjelaskan bahwa ia dibantu Kementerian Pendidikan Kebudayaan untuk mencari informasi-informasi terkait dengan Wayang Cecak. Meski begitu ia masih belum menemukan titik terang.
“Konon, Wayang Cecak ada di Bali. Kata orang Semarang itu wayang potehi. Tapi mungkin yang di Penyengat lebih sederhana, dari kain perca itu diikat-ikat dan jadi, tapi ya belum ketemu jadi pakai boneka seadanya,” keluh Azmi yang merasa penting sekali untuk mengetahui wujud asli Wayang Cecak.
“Itu ruhnya, kalau ruhnya tak ada, tak ada rasa puas,” ucap Azmi melanjutkan jawaban atas pertanyaan saya. Menurutnya, lakon Wayang Cecak pun beragam judul, seperti Syair Siti Zubaidah, cerita Hang Jebat, cerita Engku Putri, dan lainnya. Ia mengaku, peran sepupunya, Raja Malik sangat besar dalam mengumpulkan cerita-cerita Wayang Cecak dan mengembangkannya menjadi naskah pertunjukan.
Baca Juga : Imlek, Warna Merah, dan Berbagai Hal Sebagai Lambang Energi Positif
“Lakon itu diiringi biola dan gendang saja kata orang tua. Tapi kami menambah alat lain seperti akordeon dan kecapi misalnya, untuk menarik minat penonton dan anak-anak,” ujar Azmi yang kini memiliki tim yang terdiri dari 8 orang pemusik, 3 orang dalang dan 7 boneka wayang. Durasi pertunjukan wayang cecak biasanya antara 10 sampai 90 menit.
Azmi, rupanya sudah dekat dengan kesenian sejak duduk di bangku sekolah dasar kelas 4. Orang tuanya pun seniman, demikian pula kakek dan buyutnya.
“Nyang (buyut) namanya Raja Achmad, beliau dulu seniman istana sultan, kakek saya Raja Umar pun seniman. Ayah saya Mahmud Hasan punya sanggar dan Ibu saya penyanyi di grup bapak,” tutur Azmi yang saat ini juga memimpin sanggar bernama Sanggar Budaya Warisan di Pulau Penyengat.
“Tapi ada kendala, mengajak anak muda di sini berkesenian ya perlu waktu. Menumbuhkan minat anak muda perlu kerja keras,” ujar bapak dari lima anak yang bekerja sebagai staf honorer di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Kepulauan Riau itu.
Namun ia mengaku sangat senang bahwa perhatian pemerintah terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan padanya sangat baik. Sanggarnya mendapat bantuan dana untuk pembelian alat musik dan kostum tari.
“Saya masih berharap bisa menemukan bentuk asli boneka Wayang Cecak, mungkin bisa berkolaborasi dengan peneliti, tak hanya dari Badan Bahasa saya kira,” pungkasnya sambil membuka tas biolanya. Saya membalas kalimat terakhirnya dengan senyum. Saya sempat berpikir jika benar Wayang Cecak adalah adapatasi dari wayang potehi, tentunya khasanah budaya ini sangat membanggakan. Bukti dari pertukaran budaya Melayu dan Tiongkok terjadi di tanah Melayu.
Baca Juga : Preeklampsia, Komplikasi Kardiovaskular Penyebab Kematian Ibu Hamil
Apalagi jika benar bahwa Khadijah Terung memainkan pertunjukan Wayang Cecak di Pulau Senggarang, sebuah pulau tempat masyarakat Tionghoa awal abad 18 bermukim di Pulau Bintan dalam jumlah besar karena mereka datang untuk membuka lahan gambir dan lada atas perintah Daeng Celak sekitar tahun 1740-1743.
Ya, tanah Bintan merupakan tanah pertemuan aneka macam budaya dan perlintas jalur dagang tersibuk di kawasan ‘Strait Settlement’ sejak masa jalur sutera laut dan jalur rempah abad 2 hingga abad 19.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR