Nationalgeographic.co.id—Jauh sebelum kemerdekaan, swasembada beras pernah terjadi di Pulau Jawa pada 1939. Proses kemasyhuran ini sudah tampak dari beberapa tahun sebelumnya. Terhitung sejak 1936 hingga 1941, Pulau Jawa menjadi pengekspor beras dengan besaran ratusan ribu ton setiap tahunnya, dan berdampak pada perekonomian Hindia Belanda.
Kelimpahan beras ini bukan berarti semua orang dapat makan cukup. Kondisi ini mengharuskan Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperbaiki sistem, guna memenuhi kebutuhan masyarakat di Jawa yang sangat bergantung pada beras sebagai makanan pokok.
Belum sempat terpikirkan, koloni Belanda terbesar itu harus tunduk ketika Kekaisaran Jepang memulai kekuasaannya pada Maret 1942. Tanpa perlawanan besar, Hindia Belanda segera hengkang, memberikan kekuasaan pada kekuatan besar dalam Perang Dunia II itu.
Upaya yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda sebelum mangkir adalah menghancurkan sebagian sarana ekonomi, seperti rel kereta api dan jembatan.
Politik Beras Jepang
Kedatangan Kekaisaran Jepang tidak selalu menjadi harapan baru. Pada kebijakan pangan, terutama beras, pendudukan Jepang tidak memberikan perubahan apa-apa dari yang sudah ditentukan sejak zaman Hindia Belanda.
"Jika mengenang kembali masa pendudukan Jepang, orang-orang di Jawa hampir dengan suara bulat menyatakan bahwa mereka menderita kelangkaan beras yang parah," terang sejarawan Aiko Kurasawa dalam buku Kemerdekaan Bukan Hadiah Jepang (2023).
"Orang-orang di perkotaan juga sering memberikan kesaksian melihat banyak orang yang mati di jalanan," lanjutnya, merujuk sebagai krisis pangan yang pernah terjadi di Jawa.
Pemerintah Jepang di Jawa abai akan kebutuhan beras sebagai pangan rakyat. Kedatangan mereka bertujuan untuk menguasai sumber daya, baik alam maupun manusia, dan komoditas untuk mendukung kepentingan perang.
Beras dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang utamanya dikonsumsi pekerja paksa (romusha) dan militer. Oleh karena itu pengangkutan beras menjadi prioritas. Namun, dari data yang dikumpulkan Kurasawa, jumlahnya menurun dibandingkan masa kolonialisme Belanda.
Di level masyarakat bawah, para petani dipaksa memberikan padi yang telah panen kepada pemerintah Jepang, ungkap Kurasawa dalam buku "Mobilisasi dan kontrol: studi tentang perubahan sosial di pedesaan Jawa 1942-1945" (1993). Peraturan ini memaksa para petani menjual dengan harga murah dibandingkan harga pasar.
Merasa rugi, tidak sedikit para petani yang pada akhirnya menyembunyikan hasil panen padi. Tindakan ini membuat pejabat daerah berada dalam posisi kritis. Pejabat daerah adalah yang bertanggung jawab dalam pengumpulan padi dan beras dari masyarakat. Mereka juga yang akan disalahkan pemerintah Jepang jika target pengumpulan padi di daerahnya tidak terpenuhi.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR