Hal yang terpenting, harga listrik tenaga surya akan terus turun. Februari lalu, ketika saya mengunjungi Mohammed bin Rashid Al Maktoum Solar Park, 50 kilometer di sebelah selatan pusat kota, DEWA baru saja menyelesaikan pemasangan panel surya berkapasitas 200 megawatt, dan juga menandatangani kontrak untuk 800 megawatt selanjutnya—dengan harga Rp400 per kilowatt-jam. DEWA berencana membangun sampai 5.000 megawatt di sana sebelum 2030.
“Potensi tenaga surya di sini sangat besar,” ujar Mills, “Ratusan ribu hektare lahan gurun yang kosong dan ruang untuk atap yang sangat luas. Masalah menghasilkan listrik—bagi saya bisa dibilang ‘sudah beres’.”
Setelah masa perkembangan pesat dan boros selama bertahun-tahun, Dubai juga berusaha membatasi permintaan listrik dan air. Harga sudah dinaikkan cukup tinggi (walaupun masih mendapat subsidi), dan gedung baru tidak lagi dibangun seolah-olah energi dan air tidak ada batasnya, ujar Saeed Al Abbar, yang mengepalai Emirates Green Building Council. “Hal yang saya lihat adalah perubahan besar-besaran,” ujar Al Abbar. Dia ikut merancang salah satu gedung perkantoran net zero energy pertama di Dubai, yang akan menghasilkan energi sebanyak yang dikonsumsinya.
Pembangunan perumahan seimbang energi pertama telah dibuka di selatan Dubai. Rahasia Sustainable City, ujar pengembangnya, Faris Saeed, yakni bukan hanya terletak pada panel surya yang menghiasi setiap lahan parkir dan teras atap, dan bukan pula pemanas air tenaga surya yang memasok setiap rumah. Rahasianya terletak pada pilihan sederhana—seperti mengatur 500 rumah berbentuk L agar berdekatan di jalanan yang kecil sehingga dapat saling meneduhi, sebagaimana rumah-rumah tua di dekat Creek.
Semua usaha ini mulai menampakkan hasil. Konsumsi air dan listrik per kapita turun drastis, dan, menurut pemerintah, demikian pula emisi karbon per kapita, penyebab utama besarnya jejak ekologis Dubai. Rata-rata emisi penduduk Dubai sekarang kurang dari 18 ton per tahun, hanya sedikit lebih besar dari rata-rata penduduk Amerika. Penduduk perumahan ramah pejalan kaki yang dikembangkan Saeed bisa berjalan kaki ke berbagai restoran, toko kelontong, dan sebuah masjid, serta sebuah sekolah yang masih dibangun. Tetapi, memang masih harus berkendara 16 sampai 25 kilometer untuk mencapai berbagai pusat perekonomian di Dubai. Kereta metro, yang sangat berguna, tidak sampai ke Sustainable City.
Para perencana sedang memikirkan kembali bagaimana agar orang bisa menjelajahi pusat perekonomian dengan berjalan kaki. Janus Rostock, kepala arsitek di Atkins, perusahaan yang merancang metro, hotel Burj Al Arab yang berbentuk seperti layar, dan Dubai Opera, memimpin kegiatan untuk mengubah area di sekitar Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia, menjadi distrik pertokoan dan restoran lantai dasar yang menarik orang untuk berjalan-jalan di situ. Di dekat Mall of the Emirates, Dubai Holding milik Sheikh Mohammed telah merencanakan pembangunan kawasan multi-guna sepanjang 1,5 kilometer, yang disebut Jumeirah Central. Di situ, ratusan gedung akan ditata dalam sejumlah blok kecil yang bisa dijelajahi dengan berjalan kaki.
Semua pembahasan tentang masa depan Dubai bermuara kembali ke tangan Sang Penguasa, dan dari warga Emirat asli maupun ekspatriat, saya mendengar berbagai kesaksian tentang kepemimpinan Sheikh Mohammed yang tegas. “Tidak banyak birokrasi,” ujar Hussain Lootah, direktur jenderal pemerintah kota. “Di sini proyek hanya diproses dalam hitungan hari; di tempat lain, bisa bertahun-tahun.” Ini bukan hanya karena sedikitnya birokrasi—dengan tidak adanya kebebasan pers, partai politik, dan pemilihan umum, maka hanya ada sedikit penentang proyek yang didukung Penguasa.
Baca Juga : Tempat Terbaik Bagi Warga Kulit Hitam Afrika Amerika
Selama bertahun-tahun, perkembangan pesat sistem ini menghasilkan perluasan Dubai yang sangat cepat serta sejumlah proyek yang tidak dirancang dengan baik seperti World, gugusan 300 pulau buatan (dengan bentuk seperti berbagai negara) yang sebagian besar tetap tidak memiliki penghuni. Namun, masa-masa itu juga menghasilkan Dubai Metro, sebuah kesuksesan besar yang dibangun kurang dari satu dekade, serta dibuka pada saat puncak krisis keuangan. Berbagai proyek seperti inilah yang memberi harapan kepada para ahli pembangunan keberlanjutan.
Barangkali alasan terbesar munculnya harapan adalah strategi lingkungan Dubai yang sejalan dengan strategi ekonomi. Bukan sekadar energi surya yang murah. Dubai sekarang berubah haluan, ujar Rostock, karena memang harus berubah karena Dubai sedang bersaing dengan sejumlah kota lain dalam hal bisnis dan sumber daya manusia, dan keberlanjutan ada di dalamnya. “Yang kami miliki adalah kemauan dan dorongan untuk mengubah Dubai dan persepsinya,” ujar Rostock.
Baca Juga : Kisah Muslim Di Amerika, Kerap Ditindas Tapi Semakin Berkembang
Namun, Dubai tak akan melambat. Populasi Dubai kini dalam arah pertumbuhan yang akan berlipat ganda hingga lima juta jiwa pada 2030.
Hambatannya, jika ada, pasti pada faktor air, bukan energi. Teluk Persia, yang dangkal dan hampir tertutup, kini sudah 20 persen lebih asin daripada samudra, dan semakin asin: Beberapa bendungan di Turki dan Irak membelokkan aliran air tawar, perubahan iklim meningkatkan penguapan—yang juga membuat Dubai semakin panas—dan pabrik desalinasi menghasilkan limbah air garam yang panas. Pada saat itu air akan semakin sulit ditawarkan dan mungkin sudah terlalu asin untuk mendukung berbagai biota laut yang dulu mendukung Dubai. “Kami masih merasa bisa menanganinya,” ujar Lootah. Dengan teknologi, “semuanya menjadi mungkin.”
Dengan pasokan tenaga surya yang mencukupi, bermain ski dalam ruang pun menjadi mungkin—dan dengan perubahan iklim, Dubai mungkin harus beristirahat. Pada 2100 nanti, hari-hari mungkin akan terasa sangat panas dan lembap sehingga pergi ke luar rumah bisa merenggut nyawa. Haruskah kota ini tetap ada di sini? Saya ajukan pertanyaan itu kepada Alam. “Pertanyaan itu tidak tepat,” ujarnya. “Seharusnya bagaimana kita menerima keadaan saat ini dan bagaimana menjadikannya lebih baik. Inilah pertanyaan tentang hak membangun dan hak manusia untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. Bagaimana kita menjadikan kota ini lebih baik?”.
Penulis: Robert Kunzig
Fotografer: Luca Locatelli
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Rahmad Azhar Hutomo |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR