Di Dubai, yang disebut “Pemimpin” alias Sang Penguasa adalah Yang Mulia Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, emir turun temurun berusia 68 tahun, atau Sang Penguasa. Sheikh Mohammed mengambil alih tampuk kepemimpinan pada 2006. Dia mendeklarasikan bahwa kotanya akan memenuhi 75% kebutuhan energinya dari sumber energi terbarukan sebelum 2050. Dia ingin kotanya memiliki jejak karbon terkecil di dunia. Sejumlah orang yang saya temui dalam kunjungan baru-baru ini, termasuk Rostock dan Alan, kebanyakan percaya bahwa Dubai mungkin bisa berhasil melakukannya. Dan jika hal itu bisa diwujudkan di sini, kata mereka, pastilah bisa diwujudkan di mana-mana.
Sheikh Mohammed dibesarkan di sebuah rumah yang diterangi lampu minyak, dan air dari sumur desa diangkut dengan kereta keledai. Rumah itu milik kakeknya, sang emir; keluarga Al Maktoum telah menjadi penguasa Dubai sejak 1833. Ayah Sheikh Mohammed, yakni Sheikh Rashid bin Saeed Al Maktoum, juga dibesarkan di rumah yang sama dan ketika masih muda, mampu bertahan selama musim kelaparan bertahun-tahun yang melanda warga Dubai; Depresi Besar dan penemuan budidaya mutiara telah menghancurkan pasar penyelam mutiara, mata pencaharian utama penduduk Dubai.
Adalah Sheikh Rashid yang mulai memodernisasi Dubai setelah mengambil alih tampuk kepemimpinan pada 1958 dan terutama setelah minyak bumi mulai mengalir pada akhir 1960-an. Dia segera menghadirkan listrik, air leding, dan jalan aspal. Dia membangun sekolah, sebuah bandara. Dan, pada 1979, gedung 39 lantai World Trade Centre (sekarang dikenal sebagai Menara Sheikh Rashid), yang saat itu menjadi gedung tertinggi di Timur Tengah.
Bisnis mutiara tidak bertahan lama, dan Sheikh Rashid pun sadar bahwa minyak bumi pun tidak akan bertahan selamanya. Dubai hanya memegang bagian yang sangat kecil dari keseluruhan minyak bumi UEA—Abu Dhabi memegang bagian terbesar. Jadi, meskipun Dubai bukan pusat perdagangan dunia pada 1979, ketika Sheikh Rashid membangun Trade Centre, dia mulai berusaha mewujudkan hal itu. Pada tahun itu juga dia membuka pelabuhan kedua yang lebih besar di Jebel Ali, 40 kilometer dari Creek, sebagaimana orang mengenalnya.
Anak Rashid, yaitu Mohammed, membangun lahan kosong di antara kedua tempat itu, sehingga mengubah Dubai bukan hanya menjadi pusat perdagangan dan keuangan, tetapi juga, luar biasanya, pusat wisata dan pengembangan real estat. Kota Dubai bertambah luas hingga ke wilayah pesisir, ke arah Teluk Persia, ke semenanjung buatan yang dibuat dari pasir keruk dalam jumlah yang mencengangkan; kota ini terus bertambah luas hingga ke gurun Arab. “Bila Anda memperhatikan pembangunan Dubai, akan terlihat bahwa ini hanyalah obsesi untuk membangun ke arah gurun,” ujar Yasser Elsheshtawy, arsitek berdarah Mesir-Amerika yang sudah mengajar selama 20 tahun di U.A.E. University di Al Ain. “Energi murah. Anda punya banyak mobil. Jadi, mengapa tidak?”
Aspirasi Sheikh Mohammed sama seperti ayahnya, hanya saja jauh lebih besar: Dia ingin Dubai bisa menyaingi dunia, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Arab bisa menjadi pionir lagi, seperti pada Abad Pertengahan. Strateginya adalah dengan menarik dunia ke Dubai. Sekitar 90 persen dari 2,8 juta penduduk Dubai adalah ekspatriat. Mereka tinggal di tempat ribuan orang Arab berjuang untuk bisa hidup di situ beberapa waktu silam. Namun, semua orang ini harus dijaga agar bisa bertahan hidup di tengah gurun.
Kini Dubai memiliki banyak pasokan listrik dan aliran air. Hampir semuanya berasal dari satu kawasan industri sepanjang empat kilometer di Jebel Ali. Dubai Electricity and Water Authority (DEWA) membakar gas alam untuk menghasilkan listrik 10 gigawatt. Sisa panasnya digunakan untuk menghilangkan garam dalam air laut—lebih dari dua juta liter per hari. Gas berasal dari jaringan pipa dari Qatar, negara yang hubungan diplomatiknya memburuk dengan UEA sejak bulan Juni yang lalu, dan dari sejumlah kapal tanker, yang terjauh berasal dari Amerika Serikat.
Dubai, emirat kecil yang kita kira kaya minyak, ternyata bergantung pada impor bahan bakar fosil untuk keberlangsungan hidupnya. Salah seorang petinggi DEWA, yang berusaha menyampaikan perasaannya tentang hal itu, mencengkeram leher dengan salah satu tangannya. Namun, ada sisi positif dari perasaan tercekik itu: Perasaan itu bisa memotivasi Anda untuk mengubah keadaan.
Krisis keuangan global pada 2008 dan 2009 menghentikan laju pembangunan Dubai. Pariwisata terpuruk; seperti harga real estat. Dubai pun harus diselamatkan dari utang oleh Abu Dhabi. “Krisis ekonomi mungkin hal terbaik yang terjadi pada kami—berkah tersembunyi,” ujar Habiba Al Marashi, salah seorang pendiri Emirates Environmental Group, perusahaan daur ulang dan pendidikan. “Krisis itu mengerem laju pembangunan yang terlalu pesat.”
Sambil menghela napas, Dubai memiliki beberapa alasan untuk memikirkan kembali langkahnya. Di Dubai Holding, perusahaan pengembang milik Sheikh Mohammed, “salah satu masalah adalah bagaimana Dubai akan memenuhi kebutuhan energi untuk semua pembangunan real estat yang sangat besar ini,” ujar konsultan energi Robin Mills, yang bekerja di sana pada waktu itu. Alternatif ramah lingkungan pun diapungkan: Masdar City, yang disebut-sebut sebagai kota pertama di dunia yang nihil-karbon, tanpa mobil dan bertenaga surya, saat itu baru mulai dibangun dari pasir Abu Dhabi.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Rahmad Azhar Hutomo |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR