“Mami bikin blanko tahun 1980an, tapi ya itu terlambat,” ujar Santoso yang kini memiliki hampir 1.000 orang pembatik baik yang bekerja di sanggar kerjanya maupun pembatik borongan yang bekerja di rumah-rumah mereka.
Para pembatik yang bekerja di rumah ini berasal dari pelbagai tempat di Lasem seperti Desa Tulis, Ngemplak, Karas Kepoh, Karas Gede, Pancur, Tuyuhan, dan lainnya.
"Saya ingat itu dulu banyak sekali yang membuat blanko merah di Lasem ini, banyak sekali jumlah blankonya, dikirim ke Solo berkarung-karung," ujar Santoso.
Ingatan tentang blanko merah khas Lasem rupanya tak hanya membekas pada sejumlah pengusaha batik Lasem, tapi juga menjadi ingatan kolektif para pekerja batik senior yang berusia lebih dari 50 tahun. Bagi Juniah kelahiran 1962, blanko merah merupakan ‘batikan’ khas Lasem yang mereka sebut ‘bakal blanko’.
“Emak mbatikbakal blanko, dulu jadi obenge juragan Cino, itu yang sekarang jadi Toko Pantes (Lasem),” ujar Juniah yang pernah bekerja di dua rumah batik Pecinan, yaitu Rumah Batik Nyah Kiok dan Rumah Batik Ong’s Art Maranatha. Tak heran kepiawaiannya membuat batik tiga negeri dan empat negeri pun tampak dalam karya kain batik tulisnya.
Sejak usia 12 tahun Juniah telah diajari membatik. Pada usia 14 tahun, ia menjadi pembatik di Rumah Batik Nyah Kiok yang hanya khusus memproduksi batik tiga negeri motif gunung ringgit hingga saat ini.
Ingatan ‘bakal blanko’ juga masih dimiliki oleh Mbah Suti, pembatik tertua di Nyah Kiok. Ia berusia 69 tahun dan telah membatik sejak tahun 1969. Ia hafal motif gunung ringgit pringyang sedari dulu diproduksi oleh Nyah Kiok. Ia langsung menorehkan cantingnya menggambar motif gunung ringgit dan bunga bambu setiap membatik di atas kain putih polos.
“Iki batik tiga negeri kabeh, mulane yo blanko. Mbiyen akeh sing gawe blanko neng kene, buruh blanko. Lasem, kabeh mbiyen yo nggawe tiga negeri,”ujar Mbah Suti. (Ini batik tiga negeri semua, awalnya ya blanko (merah). Dulu banyak yang membuat blanko merah di sini (Lasem), buruh blanko (namanya). (Di) Lasem, dulu semua membuat tiga negeri)).
Blanko merah adalah bagian terpenting dalam batik tiga negeri tradisi Lasem dan Solo. Salah satu batik tiga negeri Solo yang membuat blanko merah sejak awal berdirinya pada tahun 1910 adalah keluarga Tjoa. Pendiri pertamanya adalah Tjoa Giok Tjiam dan istrinya yang bernama Liem Netty.
Selidik punya selidik, ternyata Tjoa Giok Tjiam berasal dari Karesidanan Rembang dan membuat blanko merah di Lasem. Sejatinya, keluarga Tjoa tidak memiliki sanggar kerja di Lasem. Mereka membeli blanko merah dari Lasem untuk kemudia dikreasikan dan diselesaikan di Solo. Keluarga Tjoa masih membuat blanko merah di Lasem sampai awal tahun 2000an sebelum akhirnya mereka membuat blanko merahnya sendiri.
Baca Juga : Bertahan dari Krisis Moneter, Kisah Pengrajin Cor Kuningan di Mojokerto
Saat ini, batik tiga negeri Solo baik dari keluarga Tjoa maupun merk lainnya telah sirna. Laporan batik tiga negeri Tjoa telah diterbitkan dalam National Geographic Indonesia edisi Februari 2018 dengan judul Adiwastra Tiga Negeri.
Blanko merah masih bertahan di Lasem. Dipertahankan oleh seniman-seniman batik yang telah turun temurun membuat batik tiga negeri baik pembatik etnis Cina maupun Jawa. Blanko merah juga dibuat oleh para seniman batik yang baru membuka usaha batik. Mereka turut berjuang memperpanjang nafas batik tiga negeri Lasem.
Tentunya blanko merah akan tetap bertahan dengan motif dan warna merah ‘getih pitiknya’ jika masyarakat luas dapat mengapresiasi dan membeli karya-karya batik tiga negeri mereka.
Sanggup Serap Ratusan Juta Ton CO2, Terobosan Ini Diklaim Cocok Diterapkan di Indonesia
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR