Nationalgeographic.co.id - Batik Tiga Negeri di Jawa Tengah memiliki aneka ragam versi cerita. Mulai dari batik yang mengalami proses pewarnaan di tiga tempat yaitu Lasem, Pekalongan, Solo sampai ke batik tiga warna yang sejatinya terdiri dari warna merah, biru, kuning, soga. Motifnya diamini sebagai motif akulturasi Jawa, Arab, Eropa, Cina.
Tak hanya ketiga daerah tersebut di atas yang membuat batik tiga negeri. Cirebon, Kudus, Surabaya, Madura, Sidoarjo, sampai Pasuruan pernah disebut koran-koran Hindia Belanda awal abad 20 sebagai penghasil batik dengan ciri warna merah, biru, soga seperti yang disebutkan oleh C.T.H. Van Deventer dalam laporannya Overzicht van den Economischen toestand der Inlandsche Bevolking Java en Madoera yang terbit pada tahun 1904.
Ia mengutip Koloniaal Verslag tahun 1890 yang melaporkan bahwa pada munculnya tren kain yang dihiasi warna-warni ‘met kleuren vesierde’.
Warna yang dimaksud dalam laporan tersebut adalah merah dari akar mengkudu, biru nila indigo, dan soga dari kayu tengeran pada tahun 1890-1891.
Baca Juga : Dari Ganja Hingga Gigi Dokter, Uniknya Motif Batik Khas Cepu-Blora
Rupanya, warna utama batik ‘Tiga Negeri’ mulai digunakan pada tahun 1890. Pengusaha batik yang menggunakan warna-warna tersebut terdapat di Batavia, Pekalongan, Lasem dan Surabaya. Bahkan disebutkan bahwa pembatik di Surabaya meniru warna merah dari Lasem. Van Deventer juga menyebutnya sebagai kain dengan teknik yang rumit. Ya, teknik tersebut masih tetap rumit hingga tahun 2019!
Namun yang pasti, hubungan paling erat selama hampir satu abad terjalin antara pengusaha batik tiga negeri Lasem dan Solo. Keduanya, berkelindan dalam blanko merah, hubungan bisnis sampai kawin mawin. Blanko merah juga bukan hanya hubungan jaringan para pengusaha batik Cina di Jawa, namun lebih erat lagi hubungan kerja sama pembatik tiga negeri Cina Jawa di Lasem. Hubungan tersebut tersimpan dalam kisah Blanko Merah atau yang dikenal dengan ‘Bakal Blanko’ oleh para seniman batik Lasem di pedesaan.
“Blanko jaman dulu buketan seruni, bunga karang, bunga pring (bambu). Khusus daerah Jawa Barat menggunakan bunga-bunga seperti seruni, kalau Surabaya tidak mau pakai bunga-bunga seperti itu. Hanya bunga karang saja,” ujarnya Priscilla Renny (37), pemilik rumah batik Maranatha, Lasem.
“Njo Boo Swie, itu terkenal sekali membuat blanko merah, Oei Liong Hwat papinePak Rudy (merujuk pada Rudy Hartono pemilik Rumah Merah), banyak kok itu. Yang bikin tiga negeri ya semua!” ujar Renny menyebutkan sederet nama-nama pemilik rumah batik lawas yang dahulu kala membuat batik tiga negeri dan blanko merah seperti Mak Kiok (Nyah Kiok), Om Tun Oei, Poo Tok Gie, Lim Siauw Him, Mak De Lim Djan Wie, Mak Lim Djan Siang, Tio Tjwan Nio, Mak Han, Tante Kun, Tante Pek Sui di Karangturi; Mak Rika, Pak Widji, Opa Sigit Witjaksono, PT 9 alias Batik Gajah, Njo Bo Sui, Katrin Poo, Mak Tian, Mak Gin, Mak Cai, Kong An Ti di Babagan.
Hal yang sama dipertegas oleh Santoso Hartono, pemilik rumah batik Pusaka Beruang. Sebelumnya, sang nenek telah membuka perusahaan batik pada tahun 1960-an, kemudian dilanjutkan oleh orangtuanya pada tahun 1980-an.
Namun, usaha turun temurun ini sempat vakum hingga akhirnya ia memutuskan untuk menghidupkan kembali usaha rumah batik pada tahun 2005. Ibundanya juga membuat blanko batik untuk perusahaan batik tiga negeri di Solo.
“Mami bikin blanko tahun 1980an, tapi ya itu terlambat,” ujar Santoso yang kini memiliki hampir 1.000 orang pembatik baik yang bekerja di sanggar kerjanya maupun pembatik borongan yang bekerja di rumah-rumah mereka.
Para pembatik yang bekerja di rumah ini berasal dari pelbagai tempat di Lasem seperti Desa Tulis, Ngemplak, Karas Kepoh, Karas Gede, Pancur, Tuyuhan, dan lainnya.
"Saya ingat itu dulu banyak sekali yang membuat blanko merah di Lasem ini, banyak sekali jumlah blankonya, dikirim ke Solo berkarung-karung," ujar Santoso.
Ingatan tentang blanko merah khas Lasem rupanya tak hanya membekas pada sejumlah pengusaha batik Lasem, tapi juga menjadi ingatan kolektif para pekerja batik senior yang berusia lebih dari 50 tahun. Bagi Juniah kelahiran 1962, blanko merah merupakan ‘batikan’ khas Lasem yang mereka sebut ‘bakal blanko’.
“Emak mbatikbakal blanko, dulu jadi obenge juragan Cino, itu yang sekarang jadi Toko Pantes (Lasem),” ujar Juniah yang pernah bekerja di dua rumah batik Pecinan, yaitu Rumah Batik Nyah Kiok dan Rumah Batik Ong’s Art Maranatha. Tak heran kepiawaiannya membuat batik tiga negeri dan empat negeri pun tampak dalam karya kain batik tulisnya.
Sejak usia 12 tahun Juniah telah diajari membatik. Pada usia 14 tahun, ia menjadi pembatik di Rumah Batik Nyah Kiok yang hanya khusus memproduksi batik tiga negeri motif gunung ringgit hingga saat ini.
Ingatan ‘bakal blanko’ juga masih dimiliki oleh Mbah Suti, pembatik tertua di Nyah Kiok. Ia berusia 69 tahun dan telah membatik sejak tahun 1969. Ia hafal motif gunung ringgit pringyang sedari dulu diproduksi oleh Nyah Kiok. Ia langsung menorehkan cantingnya menggambar motif gunung ringgit dan bunga bambu setiap membatik di atas kain putih polos.
“Iki batik tiga negeri kabeh, mulane yo blanko. Mbiyen akeh sing gawe blanko neng kene, buruh blanko. Lasem, kabeh mbiyen yo nggawe tiga negeri,”ujar Mbah Suti. (Ini batik tiga negeri semua, awalnya ya blanko (merah). Dulu banyak yang membuat blanko merah di sini (Lasem), buruh blanko (namanya). (Di) Lasem, dulu semua membuat tiga negeri)).
Blanko merah adalah bagian terpenting dalam batik tiga negeri tradisi Lasem dan Solo. Salah satu batik tiga negeri Solo yang membuat blanko merah sejak awal berdirinya pada tahun 1910 adalah keluarga Tjoa. Pendiri pertamanya adalah Tjoa Giok Tjiam dan istrinya yang bernama Liem Netty.
Selidik punya selidik, ternyata Tjoa Giok Tjiam berasal dari Karesidanan Rembang dan membuat blanko merah di Lasem. Sejatinya, keluarga Tjoa tidak memiliki sanggar kerja di Lasem. Mereka membeli blanko merah dari Lasem untuk kemudia dikreasikan dan diselesaikan di Solo. Keluarga Tjoa masih membuat blanko merah di Lasem sampai awal tahun 2000an sebelum akhirnya mereka membuat blanko merahnya sendiri.
Baca Juga : Bertahan dari Krisis Moneter, Kisah Pengrajin Cor Kuningan di Mojokerto
Saat ini, batik tiga negeri Solo baik dari keluarga Tjoa maupun merk lainnya telah sirna. Laporan batik tiga negeri Tjoa telah diterbitkan dalam National Geographic Indonesia edisi Februari 2018 dengan judul Adiwastra Tiga Negeri.
Blanko merah masih bertahan di Lasem. Dipertahankan oleh seniman-seniman batik yang telah turun temurun membuat batik tiga negeri baik pembatik etnis Cina maupun Jawa. Blanko merah juga dibuat oleh para seniman batik yang baru membuka usaha batik. Mereka turut berjuang memperpanjang nafas batik tiga negeri Lasem.
Tentunya blanko merah akan tetap bertahan dengan motif dan warna merah ‘getih pitiknya’ jika masyarakat luas dapat mengapresiasi dan membeli karya-karya batik tiga negeri mereka.
Sanggup Serap Ratusan Juta Ton CO2, Terobosan Ini Diklaim Cocok Diterapkan di Indonesia
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR