Nationalgeographic.co.id— Ma Huan tercengang. Penerjemah armada Cheng Ho itu menyaksikan bahwa air menjadi minuman sehari-hari warga Nusantara, tanpa diolah. Belakangan, orang-orang Eropa juga tercengang mendapati kenyataan serupa. Tampaknya, nenek moyang kita telah terbiasa menenggak air langsung dari sumbernya.
Pada masa silam, lokasi pusat kota dan keraton biasanya ditentukan oleh tersedianya pasokan air bersih, baik dari sungai maupun sumur. Sungai sebagai sumber air dan kehidupan memang telah melahirkan berbagai peradaban dunia—dari Sungai Nil di Afrika sampai Sungai Kuning di Cina pada sekian milenium silam.
Indonesia memiliki 5.590 sungai dan 6.500 anak sungai yang mengular. Sebagian peradaban yang membentuk negeri ini juga muncul dari bantaran sungai.
Sriwijaya, kendati jejak istananya belum ditemukan, diyakini bertempat di dekat muara Sungai Musi. Pun, pada awalnya, permukiman Majapahit dibangun dengan cara membuka hutan Trik di tepian Sungai Brantas. Pada zaman kolonial, Kesultanan Pontianak dibangun di tepian Sungai Kapuas. Kesultanan Kutai Kertanegara yang menjadi titisan kerajaan tertua di Nusantara, berada di tepian Sungai Mahakam. Sederet kerajaan itu merupakan contoh kecil tentang kota yang memiliki kebudayaan memuliakan sungai.
Bagaimana kabar sungai di Indonesia hari ini? Pada suatu kesempatan, seorang pemangku kebijakan lingkungan negeri ini berkata kepada saya, “Kira-kira sehari 400.000 ton tinja masuk ke dalam sungai!” ujarnya.
Saya tercengang—mungkin seperti Ma Huan yang melihat kebiasaan warga Nusantara. Sebesar 70 persen bahan yang mencemari sungai itu berasal dari kegiatan rumah tangga—berupa sampah, urin, air mandi, dan tinja. Sumber pencemaran lain juga berasal dari peternakan dan limbah pupuk pertanian.
Badan Pusat Statistik merilis Statistik Lingkungan Hidup 2018, yang mengungkapkan kualitas air sungai di Indonesia umumnya berada pada status tercemar berat. Pada pemantauan 82 sungai sepanjang 2016-2017, kita bisa mengetahui bahwa 50 sungai kondisinya relatif tidak berubah, 18 sungai memiliki kualitas membaik, sementara kualitasnya 14 sungai di negeri ini kian memburuk. Kita perlu prihatin lantaran sebagian besar penduduk masih menggantungkan hidupnya pada sungai sebagai sumber utama air bersih.
National Geographic Indonesia edisi ini Yusuf Wahil, pewarta asal Mamuju yang menetap di Makassar, mengisahkan penelusurannya selama dua tahun tentang para perempuan pencari air di Sungai Mandar, Sulawesi Barat.
Yusuf menyadari bahwa ketidakmampuannya dalam berenang telah menerbitkan risiko bagi dirinya sendiri. Kendati demikian, ia tetap turun ke sungai mengikuti para perempuan itu mengambil air demi untuk mendapatkan kedekatan cerita. Baginya apa yang dilakoni para perempuan itu sangat langka sekaligus menantang maut.
Nasib Sungai Mandar sejatinya mengkhawatirkan. Data Statistik Lingkungan Hidup 2018 mengklasifikasikannya sebagai sungai cemar berat pada 2017. Begitu juga Sungai Lariang di provinsi yang sama.
Yusuf menyaksikan sendiri bahwa sampah plastik dan sampah rumah tangga kerap hanyut dalam aliran sungai. Di seberangnya, warga mandi dan mencuci pakaian dengan deterjen yang turut mencemari sungai. Hal serupa pun juga dilakukan warga yang bermukim di hulu sungai.
Semua bahan pencemar sungai itu dapat dikurangi apabila kita turut berpartisipasi dalam mengubah gaya hidup. Sudah sepatutnya kita turut merawat aliran sungai dan menjaga kelestarian penghuninya. Ini sebuah desakan untuk memuliakan sungai sebagai pusat peradaban, kendati kita menyadari bahwa perkara terberat dalam konservasi adalah mengubah cara berpikir dan perilaku.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR