Saya punya pemikiran, mengunjungi makam tua di Bengkulu akan memberi pengalaman untuk mengerti tentang peradaban masa silam. Bengkulu punya sejarah yang berbeda ketimbang kawasan lain di Indonesia lantaran bekas koloni Inggris di pesisir barat Sumatra pada periode 1685-1824.
British East India Company (EIC) membangun pusat perdagangan lada dan garnisun di Bengkulu pada 1685. Kemudian, diakuisisi oleh Belanda sejak Traktat Inggris-Belanda pada Maret 1824. Ibarat tukar guling, Belanda mendapatkan Bengkulu, sedangkan Inggris mendapatkan Singapura. Seorang teman pernah berseloroh meratapi peristiwa yang terjadi hampir 190 tahun silam itu, “Andai perjanjian itu tidak pernah ada, mungkin Singapura bakal milik kita.”
Permakaman Inggris merupakan tinggalan sejarah yang mengingatkan kita tentang peradaban yang dibangun East India Company di Bengkulu. Tatkala awal kolonisasi, ratusan tentara meninggal karena kolera, malaria, disentri, dan juga korban perang—tak jauh berbeda dengan keadaan derita tentara VOC di Batavia. Ketimbang India, yang lebih dahulu menjadi jajahan Inggris, kondisi kehidupan masyarakat di Bengkulu jauh sangat miskin.
Raffles menjejakkan kakinya di Fort Marlborough Bengkulu pada 19 Maret 1818. Dia bertugas sebagai Gubernur Jenderal atas remah-remah koloni Inggris itu.
Mungkin tampangnya kecut tatkala mendapati kota yang terisolasi dari pelayaran ramai itu hanya punya satu komoditi perdagangan: lada. Jasanya bagi rakyat Bengkulu adalah menghapuskan sistem perbudakan dan membatasi permainan sabung ayam.
Raffles dan istri keduanya, Sophia Hull, beserta kelima anak mereka mengalami dera kehidupan yang suram di Bengkulu. Buruknya sanitasi menyebabkan anak-anak yang malang itu berusia tak lebih dari empat tahun.
Leopold Stamford (Penang, 12 Maret 1819 – Bengkulu 4 Juli 1821), anak kedua mereka, tewas karena wabah kolera. Beberapa bulan kemudian disusul anak ketiga mereka Stamford Marsden (Bengkulu, 25 May 1820 – Bengkulu, 3 Januari 1822) yang tewas karena radang usus.
Sebelas hari kemudian anak pertama mereka tewas karena penyakit yang sama, Charlotte (lahir saat berlayar ke Bengkulu, 15 Februari 1818 – Bengkulu,14 Januari 1822). Sedikit kisah tentang Charlotte, seorang pria bangsawan Jawa menamainya dengan “Tunjung Segara”, tampaknya karena gadis ini lahir di kapal saat pelayaran dari Inggris ke Bengkulu.
Gadis ini cukup cerdas, pada usia tiga tahun sudah lancar berbicara dalam bahasa Melayu, bahasa India, dan tentu saja bahasa Inggris. Sekitar sepuluh bulan kemudian anak kelima Flora Nightingall (Bengkulu, 19 September 1823 – Bengkulu 28 November 1823) turut mengikuti jejak kakak-kakaknya.
Hanya enak keempat Ella Sophia (Bengkulu, 27 Mei 1821 – Inggris, 5 Mei 1840) yang berhasil melewati saat-saat genting dalam hidupnya. Dia turut pindah ke Singapura bersama kedua orang tuanya setelah Traktat Inggris-Belanda pada 1824.
Empat buah hati Raffles dan Sophia dikuburkan di Kompleks Permakaman Inggris. Lokasinya tak sampai satu kilometer di timur Benteng Marlborough, Jalan Veteran, Jitra, Bengkulu.
Warga Inggris yang meninggal di Bengkulu selama periode kolonial tercatat sebanyak 709 orang. Namun, hanya 53 batu nisan yang ditemukan sampai hari ini.
Nisan tertua berasal dari tahun 1775 atas nama Stokeham Donston Esquire, dan yang termuda berasal dari tahun 1858, Miss Frances Maclane.
Sayang sekali, saya mengamati banyak prasasti makam yang dicuri. Sebagian nisan yang tertinggal rusak karena alam dan ulah manusia, sebagian makam lain hilang tercampakkan. Nisan keempat anak Raffles pun amblas—apakah termasuk dalam makam-makam yang dicuri prasasti penandanya atau telah digusur? Entahlah.
Bahkan di tengah permakaman telah berdiri sebuah rumah dengan batu-batu nisan sebagai tempat bertengger aneka jemuran—pakaian dalam. Tampaknya warisan ini akan binasa kurang dari satu dekade lagi apabila semua pihak tak memberikan perhatian dan usaha pelestarian tentang situs bersejarah ini.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR