Nationalgeographic.co.id— “Chairil, aku mau menggambar di Tanah Abang. Kau mau ikut nggak?” tanya Affandi Koesoema.
“Ikutlah Brur,” sambut pemuda kurus yang bernama Chairil Anwar.
Bersepakatlah, pada suatu siang di zaman Jepang, seorang perupa berjenggot berjalan ditemani seorang pujangga luntang-lantung. Mereka berangkat dari paviliun kediaman Affandi di Jalan Jawa No.38A, Menteng, menuju sebuah rumah di Tanah Abang. Seorang perempuan muda yang mencari rezeki sebagai pelacur kota, telah bersiap menjadi model lukisannya. Sang perupa menggambarnya dengan syahdu, sementara sang pujangga tampak mengamatinya dengan syahwat merindu.
Singkat cerita, setelah rampung melukis, Affandi membayar sang pelacur karena telah bersedia menjadi model lukisannya. Entah apa yang ada di benak Chairil, namun saat Affandi berkemas untuk kembali ke rumah, Chairil memilih tinggal sejenak bersama pelacur itu. Ah, dasar pujangga jalang.
Esok paginya, tiba-tiba sang pelacur sudah berada di teras rumah pasangan Affandi dan Maryati di Menteng.
“Nyonya, tadi tuan tidur sama saya tapi belum bayar,” kata sang pelacur.
“Ngga ah, suami saya semalam ngga pergi-pergi tuh,” sanggah Maryati.
“Tuan muda...,” tegas sang pelacur menyebut ciri lelaki yang dimaksud.
Kartika Affandi mengisahkan anekdot yang terjadi lebih dari 70 tahun silam tadi kepada saya. “Kurang ajar Si Chairil itu,” ujarnya seraya melepaskan kegeraman dengan meledakkan tawa nan membahana. “Akhirnya, Papi yang bayar, pastinya, karena Chairil masih ngorok di Tanah Abang.”
Saya mujur berjumpa putri tunggal pasangan Afandi dan Maryati itu pada suatu kesempatan yang tak disangka di Kafe Loteng, Museum Affandi. Perempuan kerap bertopi bundar dengan hiasan bunga warna-warni itu masih bersemangat melukis, kendati pada akhir tahun ini usianya 82 tahun. Kegemaran baru Kartika: melukis bunga-bunga ekspresif pada tas kulit milik tetamu.
Kartika berkisah, pada 1962, Affandi membeli tanah di bantaran Kali Gajahwong, tepian jalan raya Yogyakarta-Surakarta. Tanahnya murah karena bekas tempat pembuangan sampah yang letaknya lebih rendah dari jalan raya. “Bagi orang yang percaya fengshui, lokasinya memang tidak bagus,” ujarnya, “Tapi, kenyataannya ya Alhamdulillah.”
Arsitektur museum ini sungguh unik dan sesungguhnya memiliki kisah filosofis di baliknya. Pada awal abad ke-20 di Cirebon, Affandi kecil dan dua saudara perempuannya menderita cacar nanah yang mematikan. Saat itu pengobatan masih sederhana, mereka tidur beralas dan berselimut daun pisang—supaya tidak dikeroyok lalat. Dua saudara kandungnya wafat, namun Affandi selamat. Daun pisang yang menyimpan rasa dingin itu menjadi berkah bagi kehidupan Affandi. Demikianlah cerita di balik latar belakang arsitektur kompleks museum yang lebih mirip daun pisang. Kompleks yang mewadahi empat galeri itu dibangun secara bertahap dan dirancang sendiri oleh Affandi.
Galeri Pertama dibangun pada 1962. Direktur Jenderal Kebudayaan Ida Bagus Mantra meresmikannya pada 1974. Sebelum diresmikan pun, menurut Kartika, sejatinya galeri itu sudah digunakan sebagai museum. Kemudian, Galeri Kedua dibangun pada 1987 atas bantuan Presiden Soeharto. Menteri Pendidikan dan Kebudayan Fuad Hassan membuka secara resmi pada 1988.
Affandi bersedia dengan syarat: saat menerima penghargaan dari Presiden Soeharto, dia diizinkan mengenakan sarung dan sandal jepit. Kendati ada ketentuan bahwa dua benda itu terlarang dipakai saat di istana.
Galeri-galeri itu memamerkan karya sejak awal kariernya sebagai pelukis hingga masa akhir hidupnya. Saya bisa mengamati proses penciptaan Affandi dari gaya realis hingga menemui bentuk akhirnya yang bergaya ekspresionis. Dari lukisan sketsa dan cat air di atas kertas, hingga cat minyak di atas kanvas. Ada juga patung karyanya: dua patung potret dirinya berbahan semen dan tanah liat, juga sebuah patung perunggu reproduksi potret dirinya bersama Kartika. Bahkan dari sandal jepit, pipa cangklong, sepeda, hingga mobil kesayangannya.Sang Maestro wafat pada Mei 1990, kemudian istrinya menyusul pada bulan yang sama pada setahun berikutnya. Mereka dimakamkan di pekarangan museum.
Galeri Ketiga menyusul dibangun pada 1997. Sultan Kesepuluh meresmikan galeri ini pada 2000. Di sini karya keluarga Affandi dipamerkan, seperti lukisan sulam wol karya Maryati, lukisan ekspresionis karya Kartika, Rukmini Yusuf dan Juki Affandi—keduanya anak Affandi dari pernikahan keduanya dengan Rubiyem. Sementara, Galeri Keempat memamerkan lukisan karya, cucu Sang Maestro.
Affandi telah berkelana ke banyak negara untuk memamerkan karya-karyanya, hingga mendapatkan beragam penghargaan dari semesta. Ada anekdot lagi ketika Affandi hendak menerima penghargaan Bintang Jasa Utama di Istana Merdeka pada 1978. Affandi bersedia dengan syarat: saat menerima penghargaan dari Presiden Soeharto, dia diizinkan mengenakan sarung dan sandal jepit. Kendati ada ketentuan bahwa dua benda itu terlarang dipakai saat di istana. “Papi boleh memakainya—exceptional,” kenang Kartika. “Tapi tetap pakai jas dan peci.”
Di museum itu saya lagi-lagi mujur karena berjumpa dengan Dina Bangdel, perempuan Nepal yang cantik dan hangat. Kini, Dina merupakan guru besar sejarah seni di Virginia Commomwealth University, Qatar. Dina adalah anak dari Lain Singh Bangdel, sosok yang ditahbiskan sebagai Bapak Seni Modern di Nepal. “Ada kenangan menakjubkan tentang Affandi,” ujarnya. “Banyak seniman-seniman dunia dipengaruhi karyanya!”
Ayah dan ibundanya bertemu Affandi dan Maryati di Paris pada 1953, demikian Dina mengawali kisahnya. Affandi berkesempatan melukis Manu Bangdel, ibunda Dina, dengan gaya ekspresionis—tanpa kuas. Sampai sekarang lukisan itu menjadi warisan sejarah dan dipajang di ruang keluarga Dina di Nepal. “Ayah dan ibu saya masih muda waktu itu, namun Affandi sudah dikenal banyak orang.”
“Perjalanan ini seperti perjalanan ziarah bagi saya karena ini merupakan bagian sejarah hidup saya.”
Bersama kelompok seniman kelas dunia, Affandi dan Lain Bangdel menghadiri sebuah pameran seni yang digelar di Paris pada tahun yang sama. “Kini semua anak-anak mereka menjaga lukisan mereka sebagai warisan sejarah keluarga,” ujar Dina. “Perjalanan ini seperti perjalanan ziarah bagi saya karena ini merupakan bagian sejarah hidup saya.”
Saat liburan, bus-bus wisata parkir berbanjar untuk mengantar para pelancong ke Museum Affandi. Semangat Sang Maestro tetap lestari berkat upaya keluarga besarnya. Kartika mewanti-wanti, apabila keluarga tidak berupaya bersama, kelak mereka tidak merasa memiliki warisan ini. “Papi itu memberikan tempat, tidak hanya keluarga sehingga kita bisa berkumpul,” ujar Kartika sembari menerawang, “tetapi juga mengumpulkan anak dan cucu teman-teman Papi.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR