Dampak kesehatan
Apa yang akan terjadi jika plastik masuk ke dalam tubuh kita? Apakah itu akan mengendap di aliran darah dan pencernaan? Atau melintas begitu saja tanpa menimbulkan bahaya?
Para ilmuwan masih belum yakin mengenai seberapa banyak mikroplastik yang bisa ditoleransi tubuh kita. Sebuah studi dari King’s College pada 2017 mengungkapkan bahwa seiring berjalannya waktu, efek kumulatif dari menelan plastik bisa menjadi racun.
Berbagai jenis plastik memiliki racun yang bervariasi pula. Beberapa diantaranya terbuat dari bahan beracun seperti klorin, sementara yang lainnya mengambil senyawa berbahaya yang ada di lingkungan. Kumpulan dari bahan-bahan beracun tersebut akan memengaruhi sistem kekebalan tubuh.
Saat para ilmuwan dari Johns Hopkins meneliti dampak makan seafood yang terkontaminasi mikroplastik, mereka menemukan bahwa itu dapat membahayakan sistem imun dan keseimbangan saluran pencernaan.
Cox mengatakan, para ilmuwan sedang berusaha keras untuk memahami bahaya nyata dari mikroplastik pada kesehatan. Sama seperti polusi udara atau materi berbahaya, manusia juga mungkin tidak mampu menoleransi mikroplastik dalam jumlah banyak.
Diet plastik
Manusia mengonsumsi mikroplastik melalui banyak jalur. Kita mungkin menelannya saat makan seafood, menghirupnya bersama udara, atau dari makanan yang dibungkus kemasan plastik. Melihat hal tersebut, rasanya sangat sulit menghindari mikroplastik.
Namun, perubahan gaya hidup tertentu mungkin bisa membantu. Misalnya dengan tidak minum dari botol plastik. Menurut Cox, cara sederhana itu sudah dapat mengurangi jumlah mikroplastik yang dikonsumsi seseorang.
Baca Juga: Bakal Dapat Pinjaman Rp 1,4 Triliun, Mampukah Citarum Lepaskan Sebutan Sungai Terkotor?
Dari penelitian yang ada, mikrofiber merupakan tipe mikroplastik yang paling sering ditemukan. Serat mikro ini berasal dari bahan tekstil seperti nilon dan poliester. Mereka sering ‘terlepas’ dari pakaian ketika dicuci dan akhirnya memasuki ekosistem.
Selain mikrofiber, mikroplastik yang umum ditemukan berasal dari kantung dan sedotan plastik yang biasa kita gunakan.
Source | : | Sarah Gibbens/National Geographic |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR