“Dia seorang komponis yang memiliki ciri-ciri musiknya sangat menyatu dengan kehidupannya,” ujar Eric Awuy di atas pentas Teater Besar, Taman Ismail Marzuki. "Kalau kita membaca biografinya, Schuman juga mempunyai penyakit syaraf. Beberapa orang bilang dia kadang sedikit gila."
Eric, musisi terompet senior, hadir sebagai pemandu acara yang mengenalkan tema konser ke-21 Jakarta City Philharmonic pada 19 Juni silam. Tajuk Schumanniade merujuk pada pementasan untuk merayakan bersama karya Robert Schumann.
Sang komponis romantik itu lahir di Zwickau, kota kecil di Jerman utara pada 1810. Sejatinya, kemampuan bermusik Schumann baru bermula pada usia sepuluh tahun. Berbeda dengan Mozart yang sudah menggubah karya pertamanya, sebuah sonata untuk biola dan piano, pada usia enam tahun. Kawan sebaya Schumann, Felix Mendelssohn, telah mempertunjukkan keahliannya memainkan piano dalam suatu trio kepada publik pada usia sembilan tahun.
Schumann tertarik dengan musik sejak usia sembilan tahun, namun mengikuti jejak keluarga sebagai mahasiswa hukum di Universitas Leipzig. Meskipun Schumann bukan anak ajaib, layaknya Mozart, kelak ia menjadi salah satu komposer paling berpengaruh sepanjang abad ke-19. Pun, pamornya masih diakui setelah 200 tahun kelahirannya.
Eric memulai pembicaraan tentang karakter musik Schumann. Setiap penggubah musik memiliki karakter atau ciri yang membedakan dengan penggubah lainnya. Sebagai contoh Ludwig van Beethoven. “Kalau dia lagi marah, bahagia, senang, itu muncul dalam musiknya,” ujarnya. “Tetapi, tidak muncul dalam style atau karakter si komponisnya.”
Kemudian Eric juga mengambil contoh Johannes Brahms, yang berbeda karakter dengan Beethoven. Brahms, menurutnya, menggambarkan manusia dari perspektif agak luar. Komposisi karyanya tidak seemosional Beethoven.
Bagaimana karakter Schumann? “Intriknya selalu menjadi suatu karya atau eksplorasi untuk semua orang yang mendengar atau untuk musisi-musisinya juga,” ungkap Eric. “Di dalamnya selalu ada motif-motif obsesif, jadi kita bisa merasakan ada sesuatu obsesi dalam karya Schuman.”
Pada malam itu Jakarta City Philharmonic mempersembahkan adikarya Schumann bertajuk Konserto Piano dalam A minor, Op. 54 yang memiliki tiga bagian: Allegro affettuoso, Intermezzo: Andantino grazioso, dan Allegro vivace. Pengaba oleh Budi Utomo Prabowo, sementara sebagai pianis tamunya adalah Harimada Kusuma.
Harimada mendapat pendidikan formal dalam piano di Konservatorium Rotterdam dan Konservatorium Amsterdam. Ia meraih gelar Bachelor Music pada 2008, dan dua tahun kemudian meraih Master of Music dengan predikat cum laude. Setelah 12 tahun bermukim di Jerman, ia kembali menetap di Indonesia. Mada, sapaan akrabnya, mengajar piano di Konservatorium Musik Jakarta, Sekolah Musik Yayasan Pendidikan Musik, Sekolah Musik Musicorum, dan Allegria Music Bandung.
“Karya Schuman memang kurang terekspose,” kata Mada. Mujurnya, istri Robert Schuman, Clara Wieck, adalah seorang pianis nan piawai. Selain usianya lebih muda dan seorang penampil, ia juga seorang komponis. Sedangkan Robert Schuman lebih dikenal sebagai seorang komponis, imbuhnya.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR