Nationalgeographic.co.id - Obesitas dan diabetes dulu merupakan penyakit di negara maju, namun tren ini sudah bergeser ke negara berkembang karena semakin banyak orang mengkonsumsi makanan olahan dan makanan yang kandungan garam, gula, dan lemak jenuhnya tinggi.
Akibatnya banyak orang menderita obesitas, diabetes, penyakit jantung, dan stroke. Penyakit ini mulai menjadi masalah kesehatan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Hingga tahun 2018, 35,4% orang Indonesia kelebihan berat badan atau menderita obesitas. Sepuluh tahun sebelumnya, lebih dari 5% hidup dengan diabetes. Sayangnya, sistem perawatan kesehatan di Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk mengatasi meningkatnya beban penyakit kronis ini.
Meningkatnya beban ini dikaitkan dengan peningkatan konsumsi gula Indonesia dalam dekade terakhir ini, terutama dari minuman manis.
Baca Juga: Sering Merasa Kelelahan? Mungkin Anda Mengidap Adrenal Fatigue
Indonesia adalah pasar besar bagi produk minuman ringan dan minuman energi. Permintaan jenis minuman ini tumbuh sekitar 8-10% setiap tahun. Total penjualan diperkirakan mencapai US$12,9 miliar(sekitar Rp180 triliun) pada 2019 - yang berarti sekitar 39 liter per orang.
Pemerintah Indonesia sudah mempertimbangkan untuk menarik pajak dari minuman manis demi mengatasi masalah kesehatan yang semakin meningkat. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa pajak dapat diterapkan dan akan memberi manfaat secara ekonomi.
Dalam penelitian kami yang diterbitkan di BMJ Global Health, kami mengembangkan sebuah model untuk mengukur berapa banyak manfaat yang bisa didapat dari menerapkan pajak minuman manis di Indonesia.
Dari model ini, kami menemukan bahwa orang Indonesia yang lebih kaya akan mendapat manfaat paling banyak dengan menurunnya risiko penyakit kronis, meski pada akhirnya seluruh penduduk akan menjadi lebih sehat.
Model yang kami buat untuk Indonesia didasarkan pada penelitian kami sebelumnya yang menunjukkan pajak minuman manis dapat memperlambat pertumbuhan obesitas dan mengurangi penyakit kronis.
Model ini bertujuan untuk mengukur manfaat kesehatan ketika ada pajak $0,30(Rp 4.200) untuk setiap liter minuman manis ditarik dari seluruh golongan ekonomi di Indonesia.
Untuk melakukan ini, kami melihat tanggapan orang-orang ketika ada perubahan harga. Apakah mereka beralih ke minuman lain yang tidak dikenai pajak? Kami juga melihat potensi perubahan kandungan energi di semua minuman, dan pola penyakit dalam populasi.
Semua faktor ini dihitung berdasarkan kelompok pendapatan, dari 20% termiskin hingga 20% terkaya.
Kami menemukan bahwa jika pajak minuman manis ini diterapkan selama 25 tahun, pendapatan pajak yang didapat dari orang-orang miskin berjumlah $0,5 miliar (Rp7 triliun), dan $15,1 miliar (Rp211 triliun) untuk orang-orang kaya.
Penerapan pajak ini dapat meningkatkan status kesehatan dari semua golongan ekonomi, namun manfaat kesehatan terbesar dirasakan lebih oleh kelompok berpenghasilan tinggi karena tingkat konsumsi minuman manis mereka yang tinggi sehingga membuat mereka paling berisiko terkena penyakit kronis.
Di Indonesia, kelompok berpenghasilan tinggi menghabiskan sekitar 27 kali lebih banyak minuman manis daripada kelompok berpenghasilan rendah. Ini karena orang yang lebih kaya mampu membayar gaya hidup ini.
Riset kami menunjukkan kasus kelebihan berat badan dan obesitas akan menurun sekitar 15.000 kasus pada orang-orang berpenghasilan rendah, dan turun 417.000 kasus untuk yang berpenghasilan tinggi.
Lalu, ketika 63.000 kasus diabetes dapat dihindari pada kelompok berpenghasilan rendah, maka pada kelompok berpenghasilan tingginya, kasus yang dapat dihindari mencapai 1.487.000 kasus. Jumlah penyakit jantung dan stroke juga berkurang.
Studi kasus kami di Indonesia memberikan hasil yang berbeda dengan penelitian serupa di negara-negara kaya. Di negara-negara kaya, manfaat kesehatan seringkali dirasakan lebih besar oleh orang miskin. Ini karena mereka umumnya menerapkan pola diet berkualitas rendah yang tinggi akan gula, lemak, dan garam.
Dalam sebagian besar studi tentang dampak perpajakan minuman manis, manfaat paling tinggi didapat oleh kelompok yang mengkonsumsi minuman dalam jumlah besar.
Riset kami ini mengisi kekosongan terkait riset yang meneliti pengaruh pajak minuman manis terhadap kelompok pendapatan di negara berpendapatan rendah.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menjadikan pengurangan konsumsi gula berlebih sebagai sasaran utama kebijakan mereka.
Banyak negara telah mulai menerapkan pajak minuman manis, termasuk Meksiko, Ekuador, Brunei Darusalam, Vanuatu, Inggris, Portugal, India, Afrika Selatan, Arab Saudi, Filipina, Thailand, dan Sri Lanka.
Sudah saatnya Indonesia mengikuti jejak mereka.
Untuk negara-negara yang masih dalam tahap awal pergeseran pola diet ke makanan olahan, seperti Indonesia, pajak minuman manis pada awalnya mungkin hanya bermanfaat bagi orang-orang kaya.
Namun, pajak tersebut juga dapat memperlambat konsumsi minuman bergula di seluruh kelompok populasi dengan mengimbangi perkembangan industri minuman manis yang secara agresif meningkatkan pangsa pasar.
Baca Juga: Ingin Hidup Lebih Sehat? Ini Menu Makanan Terbaik Menurut Sains
Indonesia dapat memperlambat peningkatan obesitas dengan memberi pajak kepada jenis makanan dan minuman yang padat energi dan miskin nutrisi, seperti minuman manis.
Langkah bisa mengurangi timbulnya penyakit tidak menular, baik karena ada pengurangan gula dan dampaknya terhadap berat badan.
Pajak minuman manis akan baik bagi Indonesia, mengingat masalah pada sistem kesehatan Indonesia dalam menghadapi masalah ini.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR