Nationalgeographic.co.id - Sumenep terkenal dengan julukan kota batik, kota ukir, bahkan yang terbaru adalah kota keris. Sebuah desa di Kabupaten Sumenep, Madura dinobatkan sebagai desa yang memiliki warga dengan profesi pembuat senjata tajam tradisional – keris – terbanyak di Asia Tenggara oleh UNESCO pada tahun 2012. Kini, Sumenep terkenal sebagai kota yang memiliki ratusan empu pembuat keris tak hanya di Indonesia, namun juga di dunia.
Menyambut gelar tersebut, pemerintah Kabupaten Sumenep menetapkan kotanya sebagai Kota Keris pada tahun 2014. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 648 orang pada tahun 2013, 478 empu kerres (keris) bermukim di Desa Aeng Tong Tong. Aeng Tong Tong nama desanya, teletak di Kabupaten Sumenep Madura, berjarak sekitar 15 km dari kota Sumenep ke arah selatan menuju Pamekasan.
Keris merupakan senjata tajam tradisional yang tenar di Asia Tenggara terutama di wilayah tanah Melayu dan Nusantara. Di Indonesia keris diduga muncul sejak masa kerajaan Hindu Budha. Kata keris pun tersurat dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca yang ditulis pada tahun 1365 pada pupuh ke 87. Sumber Beknopte Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1921) menyebutkan bahwa prototip keris tertua muncul pada masa Majapahit, bahkan pamor keris merupakan tehnik khusus yang muncul sebagai tren pembuatan keris pada masa itu. Para pembuat keris sejak masa itu disebut empu.
Keris Nusantara sejatinya tersebar di pelbagai tempat, namun keris terbaik tercatat diproduksi di Jawa, Madura, Bali, Sulawesi Selatan dan tanah Melayu. Veth dalam Geograpisch, Ethnologisch, Historisch yang terbith tahun 1907 mencatat bahwa Jawa, Madura dan Bali merupakan daerah penghasil keris terbaik di Hindia Belanda. Terlebih lagi, Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) serta Madura (Sumenep) merupakan sentra pengrajin emas dan perak yang menjadi elemen penyempurna estetika keris.
Sehingga keris yang dihasilkan pun merupakan keris berharga yang dihiasi emas, perak dan batu mulia. Kisah Panji pun dikaitkan dengan penggunaan keris sebagai senjata yang memiliki tuah dan kekuatan aura kewibawaan bagi pemiliknya seperti yang dicatat oleh W.H Rassers (1938) dalam Inleiding Tot Een Bestudeering van de Javaansche Kris. Rassers pun mengemukakan bahwa keris tercantum dalam aneka historiografi dan kisah mitologi yang beragam versi, namun pada intinya keris selalu menjadi senjata utama dalam catatan sejarah maupun kisah mitologi yang dituturkan turun-temurun.
Demikian juga awal mula keris di desa Ang Tong Tong yang dimulai dengan kisah keberadaan Empu Keleng di awal munculnya kerajaan Sumenep pada awal abad 13. Empu Keleng kemudian menurunkan ilmunya yang mumpuni kepada anak angkatnya yang bernama Joko Tole. Akhirnya, Empu Keleng dan Joko Tole dipercaya sebagai empu sakti yang memiliki keahlian lengkap sebagai empu pembuat keris dari Sumenep.
Sejumlah nama empu dari Aeng Tong Tong merupakan nama tenar sebagai empu sakti yang mampu mencipta keris dengan pamor indah dipercaya memiliki kekuatan tertentu. Empu di masa lalu biasanya memiliki keahlian komplit, mulai dari membuat bilah keris hingga memuat gagang dan warangka (sarung keris). Sebut saja nama empu legendaris yang berasal dari Aeng Tong Tong yaitu Empu Murka yang terkenal memiliki kemampuan lengkap sebagai pembuat keris serta mendapat anugerah penghargaan “Maestro Seni Tradisional” pada tahun 2013. Ia meninggal pada tahun 2015.
Profesi pembuat keris yang sering disebut empu ini didominasi oleh laki-laki. Namun, rupanya Aeng Tong Tong memiliki empu sejumlah empu perempuan. Satu diantaranya yang saat ini konsisten menekuni profesi empunya adalah Ika Arista. Gadis kelahiran dua puluh sembilan tahun lalu ini lulus dari strata satu jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP PGRI Sumenep. Saking jarangnya empu perempuan yang mampu membuat keris secara paripurna, Ika pun dikenal sebagai satu-satunya empu perempuan dari Aeng Tong Tong - Negerinya Para Empu.
Ia mulai bersentuhan dengan dunia perkerisan sejak duduk di bangku sekolah dasar, kelas lima tepatnya. Ika menuturkan kisahnya,”awalnya disuruh (bapak) membuat warangka dan saya dibayar lima ribu rupiah. Harga itu terlalu tinggi sebenarnya.”
Baca Juga: Melacak Jejak Peristirahatan Sang Arsitek Masjid Jami Sumenep
Ia pun menceritakan bahwa kakek buyut, kakek dan ayahnya berprofesi sebagai pembuat keris yang memiliki keahlian tertentu,”kakek membuat sarung keris, bapak bisa keduanya. Dulu bapak dan paman yang mengajari saya mengenal keris.”
Dalam keluarganya, ia adalah generasi ke empat yang berprofesi sebagai empu. “Di desa saya, budaya membuat keris berkembang bersamaan dengan kebutuhan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan lainnya. Saya kuliah dari keris,”ujar Ika yang sempat merantau ke Jakarta selama dua tahun sebelum akhirnya memutuskan pulang ke desa pada tahun 2014 dan memilih profesi menjadi empu.
Baginya ada kerinduan kembali ke desa melihat kehidupan kawan-kawannya di desa Aeng Tong Tong,”Rindu ritme kerja di desa, saya mulai beli buku keris, membaca sejarah, dan saya belajar bagaimana bangsa ini dibangun!”
Pada masa awal kepulangannya ia merasa bersyukur telah memilih pulang ke desa. Ia bersama kawan-kawan di desanya mulai bekerjasama untuk memajukan desa keris dan mulai menggali sejarah keris di desanya.
Baca Juga: Serdadu VOC Asal Tanah Madura
“Kami datang ke orang tua sesepuh, di desa ada 20 kitab kuno. Saya bisa membacanya, hurufnya Arab pegon. Di dalam naskah itu dielaskan banyak hal misalnya tentang jenis besi, bagaimana teknik menempa, dijabarkan mengenai pamor dan maknanya, kapan waktu pembuatan yang baik dan banyak lagi. Saya masih belajar sedikit dari para empu, belum mampu seperti beliau semua,”jelas Ika.
Sebagai empu perempuan ia menyadari bahwa profesinya tidak lazim. Namun ia beranggapan bahwa perempuan pun bisa bekerja dan berkarya membuat keris.
“Mengubah pola pikir lagi, untuk urusan perempuan ini kebanyakan dianggap tabu, menjadi ibu rumah tangga serta mendapat uang dari suami menjadi alasan perempuan tidak perlu jadi empu. Selain itu, bikin keris itu berat, tangan kapalan,”jelas Ika.
Bagi empu muda ini membuat keris tak hanya membuat karya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, namun juga sebuah sebuah kewajiban sosial.
“Mengenalkan pada orang dan mengajarkan pada generasi muda!” ujar Ika.
Baca Juga: Perjuangan Warga Lokal Melawan Abrasi di Pesisir Utara Pulau Madura
“Keris itu sepertinya identik dengan hal-hal klenik atau mistis sejenis itu ya,”ujar Ika menyinggung persepsi masyarakat mengenai keris.
“Ada beban sosial bagi saya, membuat keris tidak hanya tentang uang dan tujuan ekonomi. Ada kewajiban sosial bagi kami para pembuat keris mengenalkan tentang keris dan mengajarkan pada generasi selanjutnya,”ujar Ika yang merasa prihatin jika keris selalu diidentikan pada barang ‘berisi’ atau berkaitan dengan hal-hal klenik dan mistis. Ia sering mendapat pertanyaan dari pengunjung atau pemesan kerisnya seperti apakah keris buatanya memiliki ‘isi’ atau tidak.
“Perlu ubah pola pikir, perlu edukasi tentang keris,”ungkapnya.
Masalah regenerasi pembuat keris di desanya seolah tak membuatnya khawatir. Ia optimis bahwa desa keris akan tetap terjaga kelestariannya. “Untuk sementara ini saya kira regenerasi di sini masih berjalan karena masih menjadi mata pencaharian dan menjadi sumber perekonomian desa. Sayang, kita miskin literasi tentang keris sehingga sejarah, kisah dan sumber perkerisan kurang lengkap,”ujar Ika sambil menambahkan kisah bahwa pendatang yang menikah dengan warga desa Aeng Tong Tong banyak yang kemudian berprofesi sebagai pembuat keris setelah melalui proses belajar dan berkerja sama dengan para empu di desa tersebut.
Baca Juga: Bersama-sama Melestarikan Lingkungan Mangrove di Bangkalan Madura
Bagi Ika, proses membuat keris dan keris itu sendiri mengajarkan banyak hal terutama terkait makna dan filosofi keris. Puteri pasangan Misbah dan Lutmiati ini pernah diminta membuat senjata khas Oman - Khanjar.
“Seorang kawan, Mas Paung namanya, meminta saya membuat khanjar dengan teknik membuat keris. Tantangan untuk saya. Saya berpikir, orang mungkin punya khanjar di luar sana, tapi tidak punya keris. Ini bagaimana saya mencurahkan budaya kita ke dalam budaya orang lain, misal memasukan pamor. Ini tentang bagaimana mengenal (senjata) orang lain dan memasukkan ruh budaya kita ke dalamnya,” tutur Ika yang memilih besi terbaik untuk senjata yang dibuatnya pada tahun 2018 dengan proses pembuatan selama satu bulan.
Baginya membuat karya yang menjadi tempatnya mencurahkan makna pemikirannya merupakan kepuasan batin tersendiri,”keris ini, kita mati tidak hanya menjadi nisan dan terlupakan, tapi ada karya.”
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR