Nationalgeographic.co.id – Tidak mudah meyakinkan para orangtua di Desa Tegalluar, Kecamatan, Bojongsoang, Kabupaten Bandung, untuk menyekolahkan anak mereka yang berkebutuhan khusus.
Banyak dari mereka yang skeptis akan kemampuan sang buah hati. Bahkan, ada orangtua yang mengatakan: “Ah, buat apa sekolah? Anak ini kan gila, percuma disekolahin!”
Yang lebih menyedihkan, beberapa keluarga juga sengaja menyembunyikan anaknya yang berkebutuhan khusus, karena mereka malu. Ada pula yang menelantarkan begitu saja.
Baca Juga: 3 Hal yang Perlu Dilakukan Indonesia untuk Mencegah Pernikahan Anak
Yulianti, salah satu warga di desa tersebut, tidak tinggal diam. Berawal dari pengalamannya sendiri yang memiliki anak tuna grahita, Yulianti, merasa bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) juga harus mendapatkan pendidikan.
Menurutnya, ABK perlu diajarkan bina diri hingga nantinya bisa hidup mandiri. Ia pun kemudian mendirikan sekolah Dreamable yang berfokus pada pendidikan ABK.
Awalnya, pada 2015, Yulianti merelakan rumahnya untuk menjadi tempat belajar dan mengajar ABK. Di ruangan seluas 2x4 meter, tanpa meja dan kursi, para ABK berkumpul bersama dan melakukan berbagai kegiatan pembelajaran.
Tidak dapat dipungkiri, dana dan keterbatasan fasilitas menjadi kendala Yulianti dan rekan-rekannya. Selain tempat belajar yang kurang memadai, beberapa orangtua juga mengaku kesulitan mengantar anaknya yang berkebutuhan khusus untuk sekolah.
Ya, kondisi murid yang tunanetra dan tunagrahita tidak memungkinan mereka untuk berjalan sendiri ke sekolah, sehingga harus diantar. Selain itu, ada anak yang harus digendong karena tidak memiliki kursi roda atau kendaraan.
Ida Reni, orangtua Ikhsal Syahreza (salah satu murid Dreamable), mengatakan bahwa ia harus menggendong anaknya agar bisa sampai ke sekolah. Ikhsal mengidap DMD (Duchenne Muscular Dystrophy) yang membuat otot-ototnya melemah seiring bertambahnya usia. Sejak awal bergabung, Ikhsal sudah kehilangan kemampuan berjalannya.
“Ikhsal sama sekali tidak bisa berjalan, kalau harus naik turun angkot sambil gendong, lumayan berat,” cerita Ida.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR