Nationalgeographic.co.id - Minggu kemarin, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat untuk untuk menaikkan batas usia minimum perempuan untuk menikah dari 16 hingga 19 tahun dalam upaya untuk mengekang angka perkawinan anak.
Meskipun keputusan itu merupakan langkah penting yang diperlukan untuk mengakhiri perkawinan anak, pembelajaran dari India membuktikan bahwa itu tidak cukup.
Di India, perkawinan anak masih terjadi meskipun usia resmi untuk menikah sudah ditetapkan minimal 18 tahun sejak 1978.
India memiliki angka absolut pernikahan anak tertinggi di dunia. Hal ini dikarenakan beberapa faktor termasuk kurangnya akses terhadap pendidikan dan norma gender yang kaku.
Untuk melindungi anak perempuan dari perkawinan anak, berbagai penelitian menyarankan setidaknya tiga tindakan yang diperlukan:
Menaikkan batas usia minimum menikah bagi perempuan menjadi 19 tahun memberikan lebih banyak kesempatan bagi anak perempuan untuk menyelesaikan pendidikan SMA sebelum mereka menikah.
Riset menunjukkan pentingnya pendidikan tinggi dalam mencegah perkawinan anak. Seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan maka jumlah perkawinan anak akan berkurang.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 menunjukkan lulusan SMA lebih kecil kemungkinannya untuk langsung menikah dibanding dengan lulusan SMP.
Memastikan anak perempuan tetap di sekolah akan mencegah mereka menjadi pengantin anak. Hal ini juga akan akan membawa manfaat ekonomi, tidak hanya untuk diri mereka sendiri tetapi juga bagi negara.
Sebuah laporan yang belum diterbitkan oleh UNICEF Indonesia menunjukkan bahwa perempuan berpendidikan tinggi akan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada perekonomian negara.
Agar anak perempuan tetap di sekolah dan tidak menikah pada usia anak, pemerintah harus memastikan bahwa perempuan menerima hak mereka untuk ikut serta dalam program wajib belajar 12 tahun .
Penelitian lain dari Institusi Credos pada tahun 2017 di Rembang, Jawa Tengah menunjukkan bahwa kurangnya informasi terkait hak-hak reproduksi seksual adalah salah satu alasan kenapa perkawinan anak tetap terjadi.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR