Banyak anak di Indonesia tidak tahu bahwa berhubungan seksual dapar menyebabkan mereka hamil dan dipaksa untuk menikahi pasangan mereka.
Sebuah penelitian dari Aliansi Remaja Independen pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 7 dari 8 anak perempuan di Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur mengakui bahwa mereka hamil sebelum pernikahan mereka.
Tingkat kesuburan perempuan Indonesia yang berusia antara 15 dan 19 tahun adalah 47 kelahiran per 1.000 wanita pada 2017. Ini lebih tinggi dari India dengan 23 kelahiran per 1.000 wanita.
Mereka tidak tahu bahwa kehamilan dini akan meningkatkan kemungkinan mereka meninggal dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki kehamilan di usia 20-an.
Pendidikan seks di Kenya, Peru dan Pakistan telah membantu mengurangi perkawinan anak dan kehamilan yang tidak direncanakan. Kelas-kelas tentang pendidikan seksual di negara-negara tersebut bersifat komprehensif. Anak-anak dapat belajar tentang isu-isu seputar hak asasi manusia, ketidaksetaraan gender dan hubungan kekuasaan dalam hubungan.
Pemerintah Indonesia harus memberikan pendidikan seks yang komprehensif dengan memasukkan hal tersebut ke dalam kurikulum sekolah.
Anak perempuan lebih rentan pada pernikahan anak karena adanya persepsi dan ekspektasi masyarakat pada peran domestik anak perempuan.
Menurut penelitian Institut Credos tahun 2017, anak perempuan dianggap siap untuk menikah ketika mereka sudah bisa mengurus keluarga. Sementara untuk anak laki-laki, kapan mereka siap menikah benar-benar terserah mereka. Kebanyakan berpikir mereka siap ketika mereka merasa mandiri secara ekonomi.
Ekspektasi ini mungkin lebih kuat di daerah perdesaan, dan ini mungkin menjadi salah satu alasan mengapa jumlah angka perkawinan anak di sana lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Dari Susenas tahun 2012, tingkat perkawinan anak di perdesaan berada pada angka 29,2%, lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yang sebesar 19%.
Pemerintah harus lebih bekerja sama lebih erat dengan organisasi masyarakat sipil untuk mempromosikan kesetaraan gender.
Alasan lain mengapa perkawinan anak masih tinggi di Indonesia adalah karena ketakutan masyarakat terhadap perzinaan semakin kuat seiring dengan meningkatnya konservatisme.
Kelompok-kelompok konservatif telah menciptakan gerakan mendukung perkawinan anak. Mereka percaya perkawinan anak akan melindungi diri dari dosa perzinaan. Salah satu gerakan tersebut adalah Indonesia Tanpa Pacaran yang menganjurkan kaum muda untuk tidak berkencan dan menikah sesegera mungkin.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR