Nationalgeographic.co.id - Beberapa negara di dunia masih melakukan perburuan terhadap paus, meskipun mamalia terbesar di laut ini masuk dalam daftar hewan yang hampir punah.
Baru-baru ini Jepang bahkan mencabut moratorium perburuan paus yang sudah berjalan selama 30 tahun untuk tujuan komersil. Mereka mencabut moratorium perburuan paus dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Namun, alasan ini sudah tidak lagi relevan karena Jepang, salah satu negara maju di dunia yang juga menjadi anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), bisa mencukupi kebutuhan protein dengan komoditas lainnya.
Perburuan Paus oleh Jepang beda dengan perburuan di negara-negara lain yang penduduknya berburu paus dengan cara tradisional dan memang untuk kebutuhan sendiri, dikenal dengan sebutan aboriginal subsistence whaling.
Baca Juga: Sigale-gale, Boneka Kayu Asal Sumatera Utara Yang Penuh Mistis
Masyarakat di Greenland di Denmark, Siberia di Rusia, Bequia di negara kepulauan Saint Vincent dan the Grenadines, Alaska di AS, serta Kanada dan Kepulauan Faroe yang terletak di Samudra Atlantik Utara memiliki tradisi berburu paus, dan pemerintah setempat mengizinkan mereka meneruskan tradisi tersebut.
Indonesia juga memiliki tradisi berburu paus yang terkenal di Desa Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, yang sudah dilakukan selama ratusan tahun untuk kebutuhan pangan.
Namun, tidak seperti negara-negara yang masyarakatnya juga berburu paus, Indonesia tidak memiliki regulasi yang mengatur perburuan tradisional.
Masyarakat Lamalera merupakan keturunan para pelaut yang tiba dari Sulawesi bagian selatan lebih dari 500 tahun yang lalu.
Saat tiba di Lamalera, mereka membawa juga tradisi perburuan mereka yang dimodifikasi untuk menangkap paus-paus yang sering ditemukan di perairan selatan Pulau Lembata.
Para pemburu Lamalera menggunakan kapal layar yang disebut sebagai paledang yang didayung beramai-ramai ke tengah laut. Jika ada paus yang lewat, maka juru tombak atau lama fa melemparkan tombak ke arah paus tersebut yang biasanya dari haluan kapal.
Dalam perkembangannya, penduduk Lamalera akhirnya melihat satu paus dewasa, yang beratnya antara 35 ton hingga 57 ton, sebagai sumber pangan yang menjamin pasokan pangan seluruh desa selama satu bulan.
Paus yang sering ditangkap oleh masyarakat Lamalera adalah paus sperma (Physeter macrocephalus) atau dikenal penduduk lokal sebagai koteklema. Kini, paus sperma masuk daftar satwa berstatus rentan menurut Daftar Merah IUCN 2018, artinya populasinya di alam menurun.
Selain itu, warga Desa Lamalera juga menangkap lumba-lumba spinner (Stenella longirostris), lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus), paus pembunuh (Orcinus orca) dan beberapa spesies “blackfish” (misalnya paus pilot sirip pendek Globicephala macrorhynchus) untuk dikonsumsi.
Indonesia telah memasukkan paus dan lumba-lumba sebagai satwa yang dilindungi dan terlarang untuk diburu.
Namun, pelarangan ini tidak efektif. Masyarakat Lamalera tetap memburu paus karena kegiatan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budaya masyarakat Lamalera.
Oleh sebab itu, perlu dipikirkan bagaimana perburuan paus tradisional bisa dilakukan secara lestari sambil menjamin kebutuhan pangan dari penduduk Lamalera, yang berada di salah satu provinsi dengan penduduk miskin tertinggi di Indonesia.
Menurut kami, ada dua hal utama yang bisa diambil sebagai langkah awal untuk melakukan perburuan paus secara tradisional yang lestari bagi mereka :
Komisi Perburuan Paus Internasional sudah mendefinisikan perburuan paus di Lamalera sebagai perburuan tradisional yang masih diperbolehkan untuk dilakukan.
Sayangnya, Indonesia justru belum memiliki peraturan yang memberikan definisi tentang apa itu “perburuan tradisional”, baik secara hukum legal ataupun hukum adat, dan apakah para pemburu tradisional boleh menangkap spesies yang terancam punah.
Menurut kami, hal ini perlu secepatnya ditangani karena satu dekade tanpa upaya pendampingan di Lamalera akan berdampak kepada keberadaan paus dan lumba-lumba di Indonesia.
Penyusunan definisi perburuan tradisional untuk paus harus mempertimbangkan empat hal, yaitu pembatasan teknologi (misalnya dengan membatasi perburuan hanya dengan perahu layar tanpa mesin dan hanya bisa menggunakan senjata tombak tradisional, serta tidak menggunakan peralatan seperti radio dan sonar), wilayah perburuan, jumlah populasi paus yang ada, serta jenis paus dan/atau lumba-lumba yang dapat/boleh diburu.
Perburuan tradisional paus secara lestari pun harus dilakukan dengan sangat cermat, antara lain melihat dari sisi sains hingga sosial budaya yang memastikan bahwa perburuan ini merupakan murni kearifan lokal.
Perburuan lestari adalah perburuan yang dilakukan dengan jumlah di bawah potensi penghapusan biologis (Potential Biological Removal) atau PBR, yaitu sebuah angka yang menjadi ambang batas jumlah hewan yang dapat ditangkap tanpa merusak keseimbangan populasi hewan tersebut.
Sayangnya, belum ada perhitungan potensi PBR untuk paus di Indonesia.
Untuk mengetahui PBR, perlu dilakukan survei rutin tentang jumlah populasi paus dan lumba-lumba yang menggunakan perairan Lamalera sebagai bagian dari jalur migrasi.
Selain itu, perlu dilakukan monitoring rutin terhadap jumlah paus dan lumba-lumba yang ditangkap di Lamalera setiap tahunnya.
Survei rutin tersebut memerlukan dukungan dana yang tidak sedikit, sedangkan monitoring hasil tangkapan perlu dilakukan dengan persetujuan Desa Lamalera.
Paus dan lumba-lumba di Lamalera sudah terbiasa berenang menjauh dari kapal karena kegiatan perburuan paus yang sudah lebih dari 500 tahun berlangsung di desa tersebut.
Selama kami berada di Lamalera (Mustika berkunjung pada tahun 2004-2005 dan Setiasih berkunjung pada tahun 2009-2013), kami tidak pernah melihat paus atau lumba-lumba yang berenang mendekat ke kapal atau setidaknya tidak menjauhi kapal.
Jadi, menanggapi usulan untuk menjadikan kegiatan wisata mengamati paus dan lumba-lumba sebagai ganti perburuan paus di Lamalera, bagi kami tidaklah tepat menjadikan Lamalera sebagai tempat wisata mengamati paus dan lumba-lumba karena mereka pasti menjauhi manusia.
Selain itu, peralihan dari pemburu sebagai identitas masyarakat Lamalera selama 500 tahun lamanya menjadi pelaku pariwisata apalagi menjadi pecinta hewan akan memerlukan proses dan waktu yang lama.
Baca Juga: Sadok Nonga, Lecutan Ekspresi Kebahagiaan Masyarakat Flores Timur
Dengan pertimbangan ini, kami berpendapat bahwa whale watching (wisata melihat paus yang hidup) bukanlah alternatif mata pencaharian yang sesuai bagi masyarakat Lamalera dalam jangka waktu yang pendek.
Kami berpendapat bahwa isu paus di Lamalera perlu secepatnya diselesaikan dengan cermat dan komprehensif, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti sosial dan ekonomi desa secara umum, faktor politik dari tingkat desa hingga nasional.
Selain itu, perlu juga dilakukan pendekatan terhadap desa lain yang juga melakukan perburuan paus dan lumba-lumba seperti di Lamakera (Pulau Solor).
Harapannya, apabila para pelestari lingkungan bisa berdiskusi dengan masyarakat Lamalera, maka semua pihak bisa saling paham dan terbuka untuk pengelolaan paus di Lamalera dan memungkinkan untuk merancang perburuan paus tradisional yang lebih lestari ke depannya.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR