Nationalgeographic.co.id - Sungai Ciliwung, yang membelah ibu kota Jakarta, sudah lama menjadi ‘tempat sampah’ dan salah satu penampung limbah raksasa kota Jakarta.
Beberapa lembaga penelitian menunjukkan bahwa tingkat pencemaran air Ciliwung sudah mengkhawatirkan.
Penelitian Dinas Lingkungan Hidup Jakarta menunjukkan kadar bakteri Escherichia coli (E.coli) pada Sungai Ciliwung yang mencapai 12.200 jumlah/100 ml pada tahun 2009 lebih dari standar yang direkomendasikan Kementerian Kesehatan, yaitu sebesar 50 jumlah/100 ml.
Tidak hanya kandungan E.Coli, penelitian Badan Pengajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) setahun berikutnya menunjukkan tingginya kandungan amonia, fosfat, dan deterjen pada air Sungai Ciliwung.
Kandungan ini sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh. Manusia yang mengonsumsi air yang terkontaminasi oleh bakteri E.Coli akan terkena diare. Apabila terus-menerus akan menyebabkan radang usus, infeksi pada saluran kemih dan empedu, juga stunting atau gangguan pertumbuhan pada anak sejak dini.
Baca Juga: Mengapa Kita Tidak Boleh Menelepon Saat Berada di dalam Pesawat?
Saat ini, rumah penduduk yang bersisian dengan bantaran sungai Ciliwung memiliki kecenderungan untuk menyalurkan limbah, baik sampah dapur atau limbah cair berupa kotoran tinja, dibuang langsung ke sungai karena tidak adanya sistem sanitasi yang memadai. Hal ini diperparah dengan kurangnya kesadaran warga sekitar tentang penanganan limbah domestik.
Selama April hingga September 2019, Program Pengabdian Masyarakat 2019 dari Sekolah Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia, dan rekan-rekan dari ko-kreasi Ngebikin Bareng, membangun sebuah laboratorium sederhana di Kampung Tanah Rendah, Jakarta Timur, untuk meningkatkan kesadaran warga tentang limbah domestik melalui sains.
Kami memilih Kampung Tanah Rendah karena rumah-rumah yang terletak di bantaran Sungai Ciliwung cenderung menyalurkan limbah domestik langsung ke aliran sungai akibat absennya sistem penampungan limbah kotoran tinja yang memadai.
Mereka pun memilih getek atau bilik mengapung terbuat dari bambu untuk mandi cuci dan buang air besar dibanding fasilitas kamar mandi umum yang disediakan pemerintah karena lebih murah. Fasilitas pemerintah memungut bayaran karena harus mengganti biaya listrik dan air.
Berangkat dari kepopuleran getek di antara warga bantaran Kampung Tanah Rendah, kami terinspirasi untuk merancang laboratorium teknik yang terinspirasi dari keberadaan getek, yaitu LabTek Apung, guna mengubah pandangan warga tentang pengelolaan limbah dapur dan kotoran manusia.
Laboratorium memiliki kesan jauh dan berjarak bagi orang awam. Terkesan hanya orang yang menguasai suatu disiplin ilmu tertentu yang berkutat di laboratorium.
Padahal, orang biasa bisa melakukan aktivitas laboratorium dengan cara sederhana.
Hal ini yang diterapkan oleh tim Ngebikin Bareng yang mencoba mengajarkan anak-anak mengenal sains dengan bermain di getek, sejak bulan Mei 2018.
Awalnya, baru 15 anak-anak dari Kampung Tanah Rendah yang mengikuti kegiatan laboratorium apung tersebut, dan berhasil bertambah menjadi 63 anak dari SDN Bidaracina 03 Pagi, Kampung Melayu, sekolah yang berada tak jauh dari Sungai Ciliwung. Total anak yang bermain sains di LabTek Apung sudah mencapai sekitar 150 anak pada bulan September 2019.
Tim kami melihat antusiasme mereka saat belajar sains di LabTek Apung tersebut.
Anak-anak tersebut diajarkan mengenal kondisi awal lingkungan rumahnya, seperti mengenalkan wujud zat padat, cair dan gas. Mereka ditunjukkan berbagai macam reaksi yang ditimbulkan dari pencampuran bahan-bahan yang ada di dapur rumah.
Contohnya, gula dan garam dapat larut dalam air, seduhan kopi dengan air yang tidak larut sempurna, minyak yang tidak dapat menyatu dalam air, susu bubuk yang menjadi suspensi, cuka yang menimbulkan rasa asam, terbentuknya busa deterjen saat mencuci baju, dan lain sebagainya.
Hasil uji yang mereka lakukan sendiri lalu diterjemahkan ke dalam bentuk lembaran berisikan angka, narasi, atau gambar yang mudah dimengerti.
Seperti keterangan warna air yang bening atau butek, hari cerah atau hujan ditandai dengan melingkari pilihan gambar cuaca, waktu pengujian, pengambilan air dilakukan di rumah atau sungai, dan lain sebagainya.
Tidak hanya anak-anak namun orang-orang dewasa di kampung juga diajak untuk mengambil sampel dari berbagai tempat di area tempat tinggal mereka yang bersumber dari keran kamar mandi di rumah, tempat wudhu di masjid, dan MCK untuk melakukan uji coba sederhana, seperti pengujian biologi, fisika, dan kimia air.
Baca Juga: Peneliti: Tanaman Akan 'Panik' Ketika Terkena Air Hujan
Warga bisa belajar sendiri tentang kondisi lingkungan sekitar mereka dengan cara yang sederhana dan menyenangkan.
Mereka yang aktif dalam pengenalan model sains alternatif ini tidak hanya tahu akibat buruk dari tak terkelolanya limbah domestik lewat LabTek Apung, karena kegiatan ini merupakan sebuah upaya bersama untuk merawat kepedulian dan kepekaan terhadap isu lingkungan perkotaan.
Meskipun perlu ada penelitian lebih lanjut terkait pengaruh terhadap kebiasaan membuang sampah di sungai Ciliwung, namun kehadiran LabTek Apung ini bisa menyadarkan warga dan anak-anak setempat bahwa air bekas mandi dan cuci, hingga buang air besar bisa mengotori sungai.
Penulis: Herdis Herdiansyah, Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR