Nationalgeographic.co.id - Kurang dari 13.000 tahun lalu, iklim mendingin untuk sementara waktu di berbagai belahan dunia, terutama di belahan bumi utara. Ini diketahui lewat penemuan di inti es yang dibor di Greenland serta dari lautan di seluruh dunia.
Butir-butir serbuk sari dari berbagai tanaman juga dapat memberi tahu kita mengenai periode yang lebih dingin ini. Periode ini, yang oleh orang-orang yang mempelajari prasejarah iklim disebut Younger Dryas (Dryas Lebih Muda, menghentikan tren pemanasan setelah Zaman Es terakhir. Istilah ini didapatkan dari nama bunga liar, Dryas octopetala. Bunga ini tahan kondisi dingin dan hidup umumnya di Eropa 12.800 tahun lalu. Pada sekitar waktu tersebut sejumlah hewan mengalami kepunahan. Ini termasuk gajah gede purba mamut di Eropa, bison besar di Amerika Utara, dan kungkang raksasa di Amerika Selatan.
Baca Juga: Upaya Para Peneliti Mengukur Galaksi Bima Sakti yang Menjadi Tempat Tinggal Kita
Penyebab peristiwa pendinginan ini telah banyak diperdebatkan. Satu kemungkinan, misalnya, peristiwa ini berhubungan dengan perubahan sistem sirkulasi lautan. Pada 2007, Richard Firestone dan ilmuwan Amerika lainnya mengajukan hipotesis baru: bahwa penyebab peristiwa ini merupakan dampak kosmik seperti asteroid atau komet. Dampaknya bisa memicu banyak debu di udara yang mungkin telah mengurangi jumlah cahaya matahari yang dapat menembus atmosfer bumi. Hal ini mungkin juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hewan dalam rantai makanan.
Penelitian yang baru kami pubikasikan memperlihatkan contoh baru dari hipotesis dampak Younger Dryas ini. Kami fokus pada apa yang bisa disampaikan platinum kepada kami tentang hal itu.
Platinum diketahui terkonsentrasi di meteorit (batu besar meteor yang sampai ke Bumi), jadi ketika banyak platinum ditemukan di satu tempat pada waktu yang bersamaan, ini bisa menjadi pertanda dampak kosmik. Lonjakan platinum ditemukan pada inti es di Greenland sebagaimana juga ditemukan di berbagai wilayah yang jauh seperti Eropa, Asia bagian barat, Amerika utara, dan bahkan Patagonia di Amerika Latin. Lonjakan platinum dari berbagai wilayah tersebut semuanya menunjukkan tanggal periode yang sama.
Hingga sekarang, belum ada bukti seperti itu dari Afrika. Namun, bersama dengan dua kolega saya, yakni Profesor Louis Scott (University of the Free State) dan Philip Pieterse (University of Johannesburg), saya percaya adanya bukti seperti ini dari provinsi Limpopo, Afrika Selatan, yang mendukung Hipotesis Dampak Younger Dryas yang kontroversial.
Informasi baru telah didapatkan dari Wonderkrater, sebuah situs arkeologi berdeposit gambut pada musim semi yang terletak di luar kota kecil di utara Pretoria. Dalam sampel gambut, kami telah mengidentifikasi lonjakan platinum yang setidaknya berpotensi memiliki keterkaitan dengan debu hasil dampak meteorit yang terjadi di suatu tempat di bumi 12.800 tahun lalu.
Lonjakan platinum di Wonderkrater sangat berbeda dengan konsentrasi elemen ini yang hampir selalu rendah (mendekati nilai nol) di tingkat yang berdekatan. Menyusul lonjakan platinum tersebut, butir-butir serbuk sari juga mengindikasikan penurunan suhu. Penemuan ini sepenuhnya konsisten dengan Hipotesis Dampak Younger Dryas.
Wonderkrater menjadi situs pertama di Afrika yang menunjukkan adanya lonjakan plantium Younger Dryas, melengkapi bukti bahwa lonjakan platinum juga terdeteksi di belahan bumi selatan sebagaimana sebelumnya ditemukan di Chili selatan meski sebagian besar bukti lonjakan platinum terdeteksi di belahan bumi utara, yakni sebanyak 28 situs.
Kami sekarang mengajukan pertanyaan yang perlu ditanggapi dengan serius: apakah debu yang kaya platinum ini berkaitan dengan dampak meteorit yang sangat besar dan berkontribusi pada perubahan iklim dan kepunahan?
Baru-baru ini sebuah kawah meteroit besar dengan diameter 31 kilometer ditemukan di Greenland utara, di bawah es gletser Hiawatha. Belum dapat dipastikan bahwa kawah tersebut berkaitan dengan periode Younger Dryas, namun bagian tepi kawah segar dan tidak ditemukannya es berumur yang lebih tua dari 12.800 tahun.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR