Nationalgeographic.co.id - Jejak tsunami Aceh tak hanya bisa dilacak melalui catatan geologis saja. Pada 2006 silam, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Oman Fathurahman, menemukan catatan tangan di sampul sebuah manuskrip abad ke-19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar. Menunjukkan bahwa selain catatan geologis, jejak tsunami Aceh juga termaktub dalam manuskrip kuno.
Secara eksplisit, catatan itu menyebutkan, pernah terjadi gempa besar untuk kedua kali pada pagi hari, Kamis, 9 Jumadil Akhir 1248 Hijriah atau 3 November 1832. Angka tersebut menjadi sangat menarik karena dari beberapa catatan penjelajah Barat, mereka juga menyatakan pernah terjadi gempa di pantai barat Sumatera pada 24 November 1883.
“Bisa jadi itu adalah dua gempa yang berbeda, yang paling penting adalah adanya catatan yang membuktikan bahwa Aceh kerap dilanda gempa besar,” ujar Oman yang juga pakar filologi dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Baca Juga: 10 Daerah di Indonesia yang Mengalami Kekeringan Terpanjang
Sebelumnya, pada 2005, Oman juga menemukan naskah Takbir Gempa di perpustakaan Ali Hasjmy, Banda Aceh. Naskah anonim tersebut diperkirakan dibuat sekitar abad ke-18.
Manuskrip di perpustakaan Ali Hasjmy memaparkan kejadian yang meliputi gempa bumi dalam rentang waktu dari subuh hingga tengah malam, dalam 12 bulan. Pada salah satu bagiannya disebutkan: ”Jika gempa pada bulan Rajab, pada waktu subuh, alamatnya segala isi negeri bersusah hati dengan kekurangan makanan. Jika pada waktu Duha gempa itu, alamatnya air laut keras akan datang ke dalam negeri itu...”
Tak hanya itu, dengan bernas naskah itu juga menggambarkan bagaimana gempa bisa memicu naiknya air laut hingga ke daratan. Naiknya air laut itulah yang kini dikenal dengan tsunami. Namun, jauh sebelumnya, orang Aceh juga memiliki kosakata ïe beuna atau “air bah besar dari laut”. Kata ini tak lagi dipakai hingga kejadian tsunami 2004.
Smong, tsunami dalam istilah Simeulue
Selain Oman, nama lain yang menemukan manuskrip perihal tsunami Aceh adalah filolog dari IAIN Ar Raniry, Banda Aceh, Hermansyah. Ia menemukan “Naskah Gempa dan Gerhana Wa-Shahibul” dalam kitab Ibrahim Lambunot, koleksi Museum Negeri Aceh. Naskah itu menyebutkan tentang smong yang terjadi pada 1324 H atau 1906 M.
“Smong” adalah bahasa Simeulue yang berarti “naiknya air laut setelah gempa”. Di Pulau Simeulue, pengetahuan tentang smong ini masih lestari dan terbukti menyelamatkan warga saat tsunami 2004. Meski ribuan rumah di pulau itu rusak diterjang tsunami, korban tewas ”hanya” tujuh orang.
Baca Juga: Kisah Suku Samburu Menjaga Kelestarian Alam dan Satwa Liar di Afrika
Sedikit mundur ke belakang, warga Simeulue pernah dikejutkan oleh smog yang terjadi di pulau mereka pada 1907, setahun setelah catatan dalalam kitab Ibrahim Lambunot muncul. Berturut-turut, manuskrip kejadian gempa pada masa lalu ditemukan di sejumlah daerah lain.
Filolog lainnya yang menemukan naskah serupa adalah Zuriati dari Universitas Andalas, Sumatera Barat. Naskah ini mirip Takbir Gempa dari Aceh.
Adapun di Perpustakaan Nasional, Jakarta, tersimpan naskah Ramalan Gempa. Naskah sejenis tersimpan di The Delf Collection, Belanda. Naskah itu berjudul Kitab Ta’bir dan mengandung sejumlah teks, meliputi takbir mimpi, takbir kusyuf alkamar wa asy-syams (gerhana bulan dan matahari), dan takbir lindu (gempa bumi).
Begitulah, tidak hanya ada di catatan-catatan geologis saja, jejak tsunami Aceh juga termaktub dalam manuskrip kuno.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR