Nationalgeographic.co.id - Reproduksi badak Sumatera menjadi salah satu faktor menurunnya populasi satwa langka ini. Tercatat, populasi badak bercula dua di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, tersisa tidak lebih dari 30 individu.
Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah kepunahan Badak Sumatera bernama latin, Dicerorhinus sumatrensis. Keberadaan badak khas Sumatera ini sulit terdeteksi karena umumnya hidup di hutan rawa dataran rendah hingga perbukitan.
Baca Juga: Chinese paddlefish, Salah Satu Ikan Terbesar di Dunia Telah Punah
Melansir VOA Indonesia, Senin (20/1/2020), satwa langka ini telah masuk dalam kategori sangat terancam (critically endangered) dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang berada di Provinsi Aceh, merupakan benteng terakhir upaya pelestarian badak Sumatera di ujung barat Indonesia.
Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar TNGL Adhi Nurul Hadi mengatakan saat ini, populasi badak Sumatera di taman nasional ini diperkirakan tidak lebih dari 30 ekor, yang terkonsentrasi pada wilayah barat dan timur TNGL.
"Itu perkiraan 16 hingga 20 individu, kami belum bisa optimal mengidentifikasi. Kami juga belum bisa membedakan individu satu dengan lainnya," kata Adhi.
Kecuali, lanjut dia, badak yang memiliki anak dan dapat dipantau perkembangannya, sehingga dapat dibedakan dengan badak lain.
"Sebab, mereka tidak memiliki ciri khas, sehingga kalau kami identifikasi terhadap foto dan video sekitar 12 sampai 20 (ekor) di wilayah barat. Lalu, di wilayah timur kurang dari 15 (ekor), sekitar enam hingga delapan badak," sambung Adhi.
Masa birahi badak Sumatera pengaruhi populasi Populasi badak Sumatera semakin tergerus akibat sejumlah faktor. Di antaranya sulitnya dalam bereproduksi, hingga terganggunya habitat hingga tingginya sensitivitas terhadap interaksi dengan satwa domestik lainnya.
Singkatnya, kata Adhi, masa birahi satwa ini juga menjadi faktor penyebab menurunnya populasi badak Sumatera di ujung Barbarat Indonesia tersebut. Selain itu, perburuan satwa, perambahan hutan dan penebangan liar, serta kebakaran hutan masih dapat menjadi ancaman lain bagi satwa langka ini.
Oleh karenanya, satwa ini juga menjadi prioritas bagi TNGL, selain gajah, harimau dan orangutan. "Kami sudah menetapkan side monitoring. Itu menetapkan satu areal yang intensif dan potensial menjadi habitat badak. Kami memasang camera trap dengan luas side monitoring sekitar 19.000 hektare," jelas Adhi.
Source | : | Kompas.com,VOA Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR